Tesis ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan Indonesia dalam negosiasi
perdagangan bebas Uni Eropa (UE) dengan negara-negara Asia Tenggara, yang
dilihat dari perspektif UE. Pertanyaan pendahuluan dari penelitian ini adalah
mengapa UE menegosiasikan perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara
Asia Tenggara. Sementara itu, pertanyaan penelitian utama dari tesis ini adalah
mengapa Indonesia hanya menjadi negara keenam di Asia Tenggara yang
melakukan negosiasi perdagangan bebas dengan UE dan bukan yang pertama.
Metode penelitian tesis ini adalah metode analisis kualitatif dengan menggunakan
studi kasus, dalam hal ini negosiasi perdagangan bebas UE-Asia Tenggara. Metode
pengumpulan data utama menggunakan teknik studi pustaka yang dikumpulkan
dari buku, artikel, laman berita, dan laman resmi dari organisasi-organisasi terkait.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, peneliti menggunakan teori Cross-
Regionalism yang dikemukakan oleh Mireya Solís dan Saori N. Katada (2007).
Faktor regional yang membuat UE melakukan perjanjian perdagangan bebas (FTA)
lintas kawasan antara lain kondisi ekonomi internal yang terpuruk; kemunculan
kekuatan-kekuatan ekonomi baru, terutama Tiongkok, yang menyaingi UE;
kemajuan ekonomi dari keenam negara Asia Tenggara yang jauh lebih baik dari
UE; kondisi perdagangan barang yang tidak menguntungkan dengan ASEAN; dan
kebijakan politik UE. FTA lintas kawasan merupakan upaya UE untuk
memperbaiki kondisi perekonomiannya, mencegah terjadinya pengalihan
perdagangan (trade diversion), dan menjadi kekuatan normatif. Faktor regional
yang menyebabkan Indonesia tidak menjadi prioritas bagi UE adalah kondisi
ekonomi Indonesia yang tidak lebih baik dari Singapura, Malaysia, Vietnam,
Thailand, dan Filipina; hubungan ekonomi UE-Indonesia yang menurun; isu-isu
keberlanjutan (sustainability); dan minimnya hubungan UE-Indonesia. Kemudian,
motif yang memengaruhi UE untuk melakukan FTA lintas kawasan adalah motif
pengaruh (leverage), yaitu untuk mempromosikan nilai-nilai UE, sehingga
terbentuk like-minded countries. Motif ekonomi dan motif pengaruh (leverage)
merupakan alasan yang menyebabkan Indonesia tidak menjadi mitra negosiasi FTA
bilateral pertama dan hanya yang keenam. Tampaknya kedua alasan ini
memengaruhi UE dalam penentuan mitra FTA, sedangkan motif keamanan dan
diplomasi tidak memengaruhinya. Hal ini menunjukkan bahwa motif keamanan dan
diplomasi (politik) diabaikan oleh UE. Dalam memilih mitra FTA, nilai-nilai yang
diusung UE kalah ketika berhadapan dengan kepentingan ekonominya.
Deskripsi Lengkap