Program asesmen terpadu merupakan salah satu bagian dari kebijakan wajib
rehabilitasi di Indonesia. Program ini ditujukan bagi para tersangka penyalahguna
narkotika yang berkaitan dengan hukum untuk ditempatkan ke dalam rehabilitasi
sebagai alternatif penghukuman penjara. Secara umum, terdapat dua jenis rehabilitasi
di Indonesia, terdiri dari rehabilitasi rawat inap dan rawat jalan. Kedua jenis
rehabilitasi tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing baik dalam
hal efektivitas maupun efisiensi. Untuk mencapai kedua hal tersebut, diperlukan
penyesuaian antara jenis rehabilitasi dengan tingkat risiko yang dimiliki tersangka
pada tahapan asesmen. Tujuan dari studi ini yaitu membahas peranan pengambilan
keputusan program asesmen terpadu dalam menempatkan tersangka ke dalam setting
rehabilitasi yang efektif dan efisien. Studi ini menggunakan analisis data sekunder
berupa hasil rekomendasi asesmen terpadu yang dilaksanakan oleh BNNP DKI Jakarta
tahun 2019. Sampel berjumlah 67 tersangka penyalahguna narkotika. Data ini terdiri
dari beberapa variabel penilaian dan hasil rekomendasi asesmen terpadu. Salah satu
kerangka teoritis yang akan digunakan dalam menilai kesesuaian jenis rehabilitasi dan
risiko tersangka yaitu Client-Matching Protocol (CMP). Selain itu, studi ini
menggunakan kerangka teori kriminologi seperti social learning theory dan social
support sebagai pendukung dari analisis penulis. Studi ini menemukan adanya
tersangka yang belum mendapatkan rekomendasi rehabilitasi sesuai dengan tingkat
risiko yang dimilikinya (mismatched). Ketidaksesuaian antara jenis rehabilitasi dan
tingkat risiko memiliki sejumlah dampak negatif, seperti peningkatan risiko
residivisme dan relapse, serta tingginya beban biaya anggaran yang ditanggung oleh
pemerintah. Hal ini tentunya membuat rehabilitasi menjadi tidak efektif dan efisien.
Deskripsi Lengkap