Pemberitaan mengenai keragaman gender dan seksualitas non-normatif yang disebut ?LGBT?
oleh media di Indonesia pasca Reformasi menjadikan kelompok tersebut makin terpinggirkan.
Pemberitaan media menjadikan ?LGBT? sebagai folk?s devil atau setan masyarakat yang
dianggap berbahaya bagi kehidupan bangsa dan negara. Pemberitaan di media massa tentang
?LGBT? seolah menjadi kebenaran pengetahuan dan menjadikannya kepanikan moral. Media
massa membangun sebuah rezim kebenaran informasi yang mendukung, menguatkan serta
menyebarluaskan stigmatisasi tentang ?LGBT?, menjadikan mereka sebagai hal yang
berbahaya di masyarakat dengan berpijak pada moral agama yang menguat pasca rezim Orde
Baru. Penelitian ini menggunakan paradigma kritis dan teori-teori diskursus Foucauldian yang
mengedepankan kuasa dan pengetahuan sebagai pisau analisis. Metode penelitian dilakukan
dengan metode arkeologi media yang bersifat analisis multilevel di tingkat mikro, meso dan
makro. Metode ini berangkat dari pemikiran Foucault tentang tiga hal yang berkait satu sama
lain yaitu pengetahuan, relasi kuasa dan diskursus seksualitas. Hasil temuan penelitian ini
menunjukkan bahwa pertama, rezim kebenaran media yang diproduksi dalami kuasa dan
pengetahuan mengenai diskursus ?LGBT? yang menyebabkan kepanikan moral adalah rezim
kebenaran media homofobik. Rezim kebenaran ini dibangun dari tiga peminggiran yang
dilakukan melalui kuasa dan pengetahuan media, yaitu peminggiran secara ekonomi,
peminggiran secara politik dan peminggiran secara sosial budaya; kedua, kepanikan moral
dibentuk melalui diskursus ?LGBT? dalam pemberitaan daring maupun gelar wicara melalui
proses penulisan jurnalistik dan proses produksi tayangan gelar wicara. Diskursus ?LGBT?
muncul melalui ketidakberimbangan narasumber dan ketidaklengkapan berita yang cenderung
satu sisi yang akhirnya melenyapkan suara individu maupun kelompok minoritas gender dan
seksual; melalui sentimen-sentimen terhadap kelompok tersebut dengan marginalisasi,
subordinasi, stereotype, kekerasan, menekankan isu seksualitas, memberikan stigma dan
menguatkan isu mengenai peraturan. Kuasa dan pengetahuan di media daring dibentuk melalui
peran editor dan jurnalis, sedangkan di gelar wicara dibentuk melalui peran moderator yang
memoderasi dialog; ketiga, bentuk-bentuk relasi kuasa dan pengetahuan tentang diskursus
?LGBT? di pemberitaan media daring dan gelar wicara terletak pada rutinitas media yang
melahirkan tindakan dan pengetahuan jurnalis. Tindakan dan pengetahuan jurnalis bersumber
dari berbagai faktor seperti rutinitas media dan perspektif jurnalis. Selain itu terdapat kuasa lain
yang merepresi jurnalis berasal dari rezim moral yang terbentuk dari tiga rezim yaitu rezim
heteronormatif, rezim Islam konservatif dan rezim pembungkaman pengetahuan seksualitas ;
keempat adalah rezim kebenaran media tentang diskursus ?LGBT? di pemberitaan media
daring dan gelar wicara diproduksi melalui kepanikan moral untuk melanggengkan ideologi
heteronormatif. Media menjadi semacam lembaga yang menjadi perpanjangan tangan negara,
dijadikan sebagai salah satu moral entrepreneur yang mendisiplinkan seksualitas warganya.
Kepanikan moral yang homofobik, menyebabkan rasa takut, terancam dan menganggap
?LGBT adalah bahaya menjadi salah satu metode kekuasaan heteronormatif untuk melakukan
penundukan seksualitas manusia: tubuh yang patuh.
Deskripsi Lengkap