Deskripsi Lengkap

Skripsi
No. Panggil : 0020-2021/ESK-Nan k
Judul : Kekerasan Struktural terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual Komersial sebagai Hasil dari Tidak Terpenuhinya Standar Kualitas Perawatan di Rumah Perlindungan Sosial Anak Bambu Apus
Pengarang : Nana Puspalia
Strata :
Pembimbing : Dr. Dra. Ni Made Martini Puteri, M.Si
Fakultas : FISIP UI
Tahun : 2021
Open/Membership :
Ketersediaan
Nomor Panggil No. Barkod Ketersediaan
0020-2021/ESK-Nan k 0020-2021/ESK-Nan k TERSEDIA
File Digital
Ulasan Anggota
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 77696
Sampul
Abstrak
Penelitian ini menjelaskan tentang pemenuhan standar kualitas perawatan yang tidak maksimal menimbulkan reviktimisasi dan kekerasan strukturl pada anak korban ESKA di RPSA Bambu Apus. Revikitmisasi dan kekerasan struktural yang terjadi dapat dilihat dari proses pemenuhan standar kualitas perawatan yang seaharusnya dengan realitas praktik penanganan anak korban ESKA. Standar kualitas perawatan yang digunakan dalam penelitian ini disusun oleh Wölte dan Tautz (2007) dan berisi standar perawatan minimum yang ditetapkan untuk memfasilitasi pemulihan dan reintegrasi, serta meningkatkan mekanisme perlindungan anak korban. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus lembaga. Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi literatur dan wawancara mendalam terhadap dua orang pekerja sosial dan satu orang anak korban ESKA di RPSA Bambu Apus, serta dua orang ahli Kesejahteraan Sosial. Analisis terhadap temuan data dilakukan menggunakan teori kekerasan struktural oleh Galtung (1969). Hasil penelitian menunjukkan bahwa standar kualitas perawatan yang belum maksimal di RPSA Bambu Apus menhasilkan reviktimisasi dalam beberapa bentuk, yaitu: (1) anak bisa mengakses pendidikan SD- SMP namun di SLB-E Handayani bagi tunalaras yang membuat anak korban ESKA mendapat tambahan stigma dan label sebagai anak dengan gangguan emosi dan kontrol sosial; (2) anak secara sukarela (tanpa dibayar) diberi tanggung jawab menjaga dan mengasuh balita korban penelantaran dengan risiko pengasuhan yang juga menjadi tanggung jawabnya, bukan pekerja sosial, dan; (3) anak dibiarkan untuk mengikuti atau tidak mengikuti kegiatan konseling dan rekreasi/pengembangan diri. Pengabaian dan eksploitasi yang terjadi ini dapat dilihat sebagai bentuk kekerasan struktural.