Penelitian ini membahas advokasi perlindungan hak-hak anak sebagai respon
legalisasi perkawinan bagi anak perempuan dalam UU No. 1 Tahun 1974. UU
tersebut mengatur batas usia perkawinan perempuan pada usia 16 tahun, yang
masih dikategorikan sebagai usia anak. Angka perkawinan anak yang tinggi di
Indonesia dan ketiadaan respon pemerintah merevisi kebijakan telah menggerakan
masyarakat sipil mengupayakan advokasi. Kelompok masyarakat sipil yang
dimaksud adalah Koalisi 18+. Penelitian ini menjawab pertanyaan tentang
bagaimana peran Koalisi 18+ mengadvokasi kenaikan batas umur pernikahan
dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam kurun waktu 2014-2019.
Pertanyaan penelitian akan dijawab menggunakan teori Aktivisme Politik oleh
Pippa Norris. Menggunakan pendekatan kualitiatif dengan metode pengumpulan
data wawancara mendalam dan studi literatur, ditemukan bahwa proses advokasi
kebijakan dilakukan melalui tiga jalur yaitu, Uji Materi, pengajuan Peraturan
Pengganti Undang-Undang (Perppu), dan pengajuan Revisi Undang-Undang
dengan menargetkan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan. Dengan ini,
Koalisi 18+ dapat dikategorikan sebagai agensi, tepatnya agensi modern. Adapun
strategi yang dilakukan merupakan mixed action strategies, sementara target
advokasi Koalisi 18+ dikategorikan sebagai state-oriented, karena pergerakannya
ditujukan kepada tiga lembaga negara sekaligus (eksekutif, legislatif, dan
yudikatif). Keberhasilan Koalisi 18+ ditandai dengan dikabulkannya permohonan
uji materi 2017-2018 dan disahkannya UU No. 16 Tahun 2019. Beberapa faktor
yang signifikan pada keberhasilan ini yaitu, peluang politik, aliansi dengan aktor
di dalam pemerintahan yang pro-perubahan, dan framing isu. Meskipun begitu,
keberadaan Eva Kusuma Sundari sebagai gatekeeper perubahan UU dalam
pemerintahan, menjadi faktor keberhasilan utama.
Deskripsi Lengkap