Kebijakan Free School Meal dijalankan oleh pemerintah Inggris sejak tahun 1870-an.
Memasuki masa pandemi Covid-19 tahun 2020, kebijakan ini kembali diandalkan sebagian
masyarakat. Namun, pemerintah memutuskan untuk mengakhirinya pada pertengahan masa
pandemi. Hal ini menjadi kontroversi yang menimbulkan protes dari masyarakat. Dari
berbagai pihak yang melakukan protes, hanya satu yang memperoleh respons pemerintah,
yakni kampanye yang dilakukan oleh pemain sepak bola Marcus Rashford. Dengan
pendekatan kualitatif, penelitian ini akan menggunakan teori komunikasi politik oleh Brian
McNair dilengkapi dengan konsep elemen pesan, komunikator, dan sarana oleh Dan Nimmo
untuk menjelaskan bagaimana ketiga elemen tersebut memiliki muatan politik yang
mendorong keberhasilan kampanye media sosial yang dilakukan Rashford dalam
meyakinkan pemerintah Inggris untuk mengubah kebijakan. Penelitian ini menemukan
bahwa pesan Rashford mampu menyajikan data empiris dan bersifat solutif. Penelitian ini
juga menemukan bahwa Rashford memiliki status, kredibilitas, dan daya tarik sebagai
komunikator politik. Ia mampu memposisikan diri sebagai bagian dari masyarakat Inggris
sehingga mampu memperoleh dukungan dari masyarakat. Rashford secara tepat memilih
Twitter dan situs petisi online parlemen Inggris karena kedua sarana tersebut memiliki
banyak pengguna, dapat dipercaya, dan sesuai dengan pesan yang disampaikan. Meskipun
bukan merupakan satu-satunya alasan, kampanye media sosial yang dilakukan Rashford
memiliki peranan yang penting dalam meyakinkan pemerintah Inggris untuk mengubah
kebijakannya.
Deskripsi Lengkap