Deskripsi Lengkap

Tesis
No. Panggil 0012-2022/ ETS HI-Mey p
Judul Peran Greenpeace dalam Advokasi Perdagangan Limbah Plastik di Asia Tenggara
Pengarang Meyfitha Dea Khairunnisa
Penerbit dan Distribusi 2022
Subjek Pencemaran limbah plastik merupakan salah satu isu lingkungan yang kini menjadi
perhatian pemimpin dan masyarakat dunia. Limbah plastik yang tidak terkelola dengan
baik banyak yang berakhir di laut dan mengakibatkan pencemaran terhadap ekosistem
laut. Limbah plastik juga dapat menghasilkan gas rumah kaca yang dapat memperburuk
perubahan iklim. Salah satu mekanisme pengelolaan limbah plastik adalah dengan
perdagangan limbah plastik, di mana negara-negara maju mengirim limbah plastik ke
negara-negara berkembang untuk didaur ulang. Namun, perdagangan limbah plastik ini
merugikan negara-negara berkembang. Hal ini dikarenakan negara-negara berkembang
tidak memiliki kapasitas untuk mengelola limbah yang masuk, sehingga limbah-limbah
tersebut menumpuk dan mengganggu kesehatan dan lingkungan. Pasca Tiongkok
menghentikan impor limbah plastik, negara-negara di Asia Tenggara menjadi tujuan baru
perdagangan limbah plastik. Penolakan perdagangan limbah plastik di Asia Tenggara
kemudian mulai diadvokasikan oleh berbagai NGO lingkungan, termasuk Greenpeace.
Penelitian ini mengkaji strategi advokasi yang dilakukan oleh Greenpeace terhadap
ASEAN dalam isu perdagangan limbah plastik di Asia Tenggara. Strategi ini dianalisis
dengan konsep inverse boomerang di mana advokasi dimulai ketika NGO internasional
mengalami hambatan advokasi dan bekerja sama dengan NGO lokal. Dari empat
perwakilan Greenpeace di Asia Tenggara, tiga di antaranya yakni Thailand, Indonesia,
dan Filipina melakukan strategi advokasi inverse boomerang. Sementara di Malaysia,
advokasi dimulai oleh NGO lokal yang mengalami hambatan sehingga lebih tepat
dianalisis dengan konsep boomerang pattern. Selain kesamaan visi dan misi dengan NGO
lokal, advokasi perdagangan limbah plastik yang dilakukan Greenpeace di Asia Tenggara
juga didorong untuk menaikkan kredibilitas Greenpeace sebagai NGO lingkungan dalam
mengadvokasi isu perubahan iklim dan keadilan lingkungan. Advokasi perdagangan
limbah di Asia Tenggara belum berhasil mencapai tujuan advokasi karena beberapa
faktor yakni birokrasi kebijakan ASEAN, implementasi dan pengawasan hukum yang
belum maksimal di masing-masing negara, tidak ada leverage untuk menekan pemangku
kebijakan, serta masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap isu perdagangan
limbah.
Kata Kunci perdagangan limbah plastik, Asia Tenggara, inverse boomerang, transnational activism
Lokasi MBRC
Ketersediaan
Nomor Panggil No. Barkod Ketersediaan
0012-2022/ ETS HI-Mey p 0012-2022/ ETS HI-Mey p TERSEDIA
File Digital
Ulasan Anggota
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 77984
Sampul
Abstrak
Pencemaran limbah plastik merupakan salah satu isu lingkungan yang kini menjadi perhatian pemimpin dan masyarakat dunia. Limbah plastik yang tidak terkelola dengan baik banyak yang berakhir di laut dan mengakibatkan pencemaran terhadap ekosistem laut. Limbah plastik juga dapat menghasilkan gas rumah kaca yang dapat memperburuk perubahan iklim. Salah satu mekanisme pengelolaan limbah plastik adalah dengan perdagangan limbah plastik, di mana negara-negara maju mengirim limbah plastik ke negara-negara berkembang untuk didaur ulang. Namun, perdagangan limbah plastik ini merugikan negara-negara berkembang. Hal ini dikarenakan negara-negara berkembang tidak memiliki kapasitas untuk mengelola limbah yang masuk, sehingga limbah-limbah tersebut menumpuk dan mengganggu kesehatan dan lingkungan. Pasca Tiongkok menghentikan impor limbah plastik, negara-negara di Asia Tenggara menjadi tujuan baru perdagangan limbah plastik. Penolakan perdagangan limbah plastik di Asia Tenggara kemudian mulai diadvokasikan oleh berbagai NGO lingkungan, termasuk Greenpeace. Penelitian ini mengkaji strategi advokasi yang dilakukan oleh Greenpeace terhadap ASEAN dalam isu perdagangan limbah plastik di Asia Tenggara. Strategi ini dianalisis dengan konsep inverse boomerang di mana advokasi dimulai ketika NGO internasional mengalami hambatan advokasi dan bekerja sama dengan NGO lokal. Dari empat perwakilan Greenpeace di Asia Tenggara, tiga di antaranya yakni Thailand, Indonesia, dan Filipina melakukan strategi advokasi inverse boomerang. Sementara di Malaysia, advokasi dimulai oleh NGO lokal yang mengalami hambatan sehingga lebih tepat dianalisis dengan konsep boomerang pattern. Selain kesamaan visi dan misi dengan NGO lokal, advokasi perdagangan limbah plastik yang dilakukan Greenpeace di Asia Tenggara juga didorong untuk menaikkan kredibilitas Greenpeace sebagai NGO lingkungan dalam mengadvokasi isu perubahan iklim dan keadilan lingkungan. Advokasi perdagangan limbah di Asia Tenggara belum berhasil mencapai tujuan advokasi karena beberapa faktor yakni birokrasi kebijakan ASEAN, implementasi dan pengawasan hukum yang belum maksimal di masing-masing negara, tidak ada leverage untuk menekan pemangku kebijakan, serta masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap isu perdagangan limbah.