Gerakan sosial tidak hadir secara tiba-tiba; ia muncul sebagai respon atas ketidakadilan terkait permasalahan sosial dan politik yang dihadapi. Begitu pun yang
dialami oleh jutaan masyarakat sipil pro-demokrasi Hong Kong di tahun 2019
hingga kemudian mereka melakukan rangkaian aksi protes melawan RUU Ekstradisi
yang dapat mengizinkan otoritas Hong Kong untuk menyerahkan warganya ke
daratan Tiongkok agar diadili. Bentuk-bentuk gerakan sosial dari kelompok
masyarakat pro-demokrasi seperti ini memang merupakan hal yang relatif umum,
terutama setelah Hong Kong diserahkan kembali kepada Tiongkok di tahun 1997.
Pasca penyerahan, pemerintah Tiongkok sudah sering melakukan intervensi atas
urusan sosial dan sistem politik demokratis Hong Kong yang semestinya dijamin
dalam Hukum Dasar dan prinsip Satu Negara, Dua Sistem. Dari berbagai bentuk
gerakan sosial pro-demokrasi yang sempat terjadi, intensitas kebertahanan gerakan
ini pada akhirnya dapat secara efektif menekan pemerintah untuk melakukan
tuntutan utama gerakan, yakni dibatalkannya RUU Ekstradisi. Skripsi ini akan
melihat mengapa Gerakan Anti RUU Ekstradisi 2019 dapat merealisasikan
pencabutan RUU Ekstradisi dengan melihat kemunculan dan proses mobilisasi
gerakan. Berdasarkan hasil temuan yang menggunakan metode kualitatif melalui
analisis dokumen, gerakan ini dapat muncul setidaknya karena bentuk-bentuk
kesempatan politik yang ada seperti sistem politik semi terbuka; adanya
ketidakseimbangan relasi kuasa; sekaligus konflik elit politik Hong Kong. Struktur
gerakan yang relatif cair dan terdesentralisasi, serta cara partisipan gerakan
mobilisasi sumber daya yang ada juga mampu memberikan efektifitas dalam
mempertahankan gerakan sampai tuntutan utama?yakni dicabutnya RUU
Ekstradisi?dikabulkan. Tidak adanya dukungan dari elit bisnis kepada pemerintah
Hong Kong dan keterlibatan Internasional dalam mendukung gerakan juga menjadi
kondisi kontekstual yang membuat RUU Ekstradisi pada akhirnya berhasil dicabut.
Deskripsi Lengkap