Derasnya arus informasi di media sosial berdampak pada kemunculan berita palsu dan
menyebabkan konflik di masyarakat. Oleh karena itu, beberapa negara mengeluarkan
regulasi untuk mengatur berita palsu, termasuk Singapura dengan kebijakan POFMA
(Protection of Falsehood and Manipulation Act). POFMA diberlakukan kepada oposisi
hingga masyarakat umum. POFMA juga diberlakukan pada masa Pemilihan Umum 2020
yang dimenangkan oleh partai berkuasa People?s Action Party (PAP) dalam kondisi
Pandemi Covid-19. Penelitian ini berargumen bahwa POFMA dimanfaatkan oleh PAP
sebagai salah satu cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Sebelum POFMA
dibentuk, PAP telah melakukan kontrol politik terhadap oposisi dalam struktur negara
dan media massa serta masyarakat umum dengan pembentukan lembaga, skema pemilu,
dan kebijakan yang membatasi kebebasan. Penelitian ini dianalisis menggunakan teori
three pillars of stability milik Gerschewski yang membahas tiga pilar penting yang saling
berkaitan untuk mempertahankan stabilitas rezim, yaitu pilar legitimasi, kooptasi, dan
represi. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data yang
bersumber dari studi pustaka berupa buku, jurnal, dokumen resmi, dan website. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pilar legitimasi didapatkan melalui survei persepsi
masyarakat terhadap berita palsu, green paper, public hearing, dan dukungan masyarakat
setelah POFMA disahkan. Masyarakat mendukung POFMA karena berperan dalam
mengatasi berita palsu terutama dalam isu kepentingan publik. Pilar kooptasi dapat dilihat
melalui kooptasi perusahaan media sosial, POFMA Office, dan civil servants. Pilar
represi diperlihatkan melalui topik kasus yang diberlakukan POFMA, jenis koreksi yang
dikeluarkan, dan pihak-pihak yang mendapat pemberlakuan POFMA.
Deskripsi Lengkap