Masyarakat petani di Segeri dapat dikategorikan sebagai petani pedesaan (rural cultivator)
karena praktik kegiatan pertaniannya masih sangat dipengaruhi oleh eksistensi praktik ritual
lokal-tradisional. Namun sejak tahun 2017, para petani telah mengalami perubahan
keyakinan serta pandangan terhadap cara mereka mempersepsikan praktik ritual. Kelompok
petani yang menjadi informan utama dalam penelitian ini ialah para petani yang sawahnya
digunakan oleh pihak adat sebagai arena untuk melaksanakan kegiatan ritual adat.
Sebelumnya, sawah petani ini bukan merupakan sawah adat. Namun, lepasnya kepemilikan
sawah adat membuat pihak adat memindahkan status sawah adat ke sawah petani tersebut.
Saat ini, para petani dibebani oleh kewajiban mengikuti sistem ritual, yakni petani tidak boleh
turun sawah sebelum ritual adat dilaksanakan.
Melalui kerangka konsep resistensi dan sekularisasi, penelitian ini akan melihat dinamika
religiusitas masyarakat petani Segeri yang mulai menyangkal keterikatan kegiatan pertanian
dengan praktik ritual, mempertanyakan signifikansi praksis ritual terhadap kegiatan
pertanian, hingga mewacanakan akan meninggalkan tradisi turun sawah yang merupakan
lambang kearifan lokal mereka dan masyarakat Segeri.
Penelitian ini menemukan bahwa perlawanan petani justru tidak berimplikasi terhadap
rusaknya tatanan simbol dan praksis sistem ritual adat, melainkan membuat petani bertumbuh
menjadi petani yang lebih rasional. Dengan melepaskan sebagian besar keyakinan mereka
terhadap ritual adat, para petani kini lebih sadar akan penerapan rekomendasi teknis, lebih
menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan masalah-masalah
pertanian, serta tidak lagi sepenuhnya menumpukan keberhasilan panen dari kesakralan ritual
adat.
Deskripsi Lengkap