Lahirnya Peraturan Pemerintah tentang Penyiaran No. 50/2005 bersamaan
dengan ketiga PP lainnya, yakni No. 49, 52 dan 52 menimbulkan reaksi yang
beragam. Sebelumnya, lahirnya tiga PP No. 11, 12 dan 13 juga menyebabkan
tanggapan yang kurang lebih sama. Banyak pro dan kontra bermunculan
menanggapi lahirya PP No. 50/2005. Baik yang setuju atau tidak mempunyai
argumentasi dan didasari oleh kepentingannya masing-masing. Ketidaksetujuan
paling keras datang dari Komisi Penyiaran Indonesia, yang menganggap PP
tersebut telah mengambil kewenangannya untuk ?mengatur hal-hal mengenai
penyiaran?, termasuk juga dalam hal perizinan.
Panolakan KPI ini didukung oleh Komisi I DPR RI dan publik khususnya yang
aktif tergabung dalam Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia. Maka KPI
kemudian melayangkan judicial review kepada Mahkamah Agung, yang intinya
mengharapkan PP No. 50 ?bersama keenam PP (judicial review tiga PP sudah
terlebih dahulu diajukan), dicabut karena banyak hal di dalamnya yang bertentangan
dengan UU No.32/2002 tentang penyiaran. Sementara di lain pihak kalangan
industri condong untuk berpihak kepada pemerintah atas persetujuan mereka
terhadap PP, dengan alasan perlunya segera kepastian hukum.
Pengajuan judicial review oleh KPI ini diiringi dengan sekian perdebatan dan
pergumulan sengit antar stakeholder penyiaran. Basis perdebatan terletak pada
siapakah regulator bidang penyiaran, dalam artian pemberi izin siaran. KPI dan para
pendukungnya bersikukuh kalau pihaknya sebagai ?lembaga negara independen?
yang berhak mewakili negara mengeluarkan izin dan mengatur hal lain mengenai
penyiaran, sebagaimana termaktub dalam pasal 33 ayat 4 UU Penyiaran.
Sementara pemerintah menyatakan pihaknyalah yang punya kewenangan untuk itu.
Perdebatan ini sampai menimbulkan kebuntuan komunikasi antara pihak.
Sementara itu pula tiap pihak sama-sama melakukan manuvernya, di tengah
ii
suasana untuk menunggu keputusan MA tentang pengajuan jucial review KPI
terhadap PP Penyiaran.
Pada 19 April 2007, terbitlah keputusan MA yang ditunggu-tunggu itu.
Hasilnya, menolak permohonan judicial review KPI dan menyatakan PP No 49 dan
No 50 dinyatakan berlaku dan tidak bertentangan dengan UU Penyiaran. Keputusan
MA ini kemudian, ditambah keputusan MK pada 17 April 2007 yang menolak
permintaan kewenangan pemberi izin diberikan kepada KPI, menjadi semacam titik
balik perubahan sikap KPI. Kebetulan bersambut dengan momentum yang pas,
yakni pergantian komposisi keanggotaan komisioner dan pergantian Menteri
Komunikasi dan Informatika yang baru.
Dari situ, penelitian ini menghasilkan temuan tentang adanya perubahan dan
babak baru strategi dan posisi dalam menjalankan peran dan fungsi KPI, dari era
?revolusi fisik? ke era ?diplomatik?. KPI ingin lebih bisa berkomunikasi dan
bekerjasama dengan stakeholder lain, yakni pemerintah (Depkominfo) dan industri
agar bisa lebh berkonsentrasi dalam melayani lembaga penyiaran dan kepentingan
publik. Kalangan industri juga mengalami perubahan tersebut, namun tidak terkait
langsung dengan keputusan MA, melainkan oleh kepentingan penyelamatan serta
pengembangan usaha (bisnis) dalam dunia penyiaran.
Dinamika interaksi antar stakeholder dalam penyiaran, terutama yang dialami
KPI, pemerintah dan kalangan industri penyiaran televisi inilah yang menjadi fokus
dalam penelitian ini. Melalui analisis politik dengan varian kontruktivisme, dapat
dilihat adanya interplay antara agen dan struktur yang bermain dalam regulasi
penyiaran di Indonesia, yakni KPI, industri penyiaran, ditambah pemerintah dan
publik (masyarakat sipil). Terdapat proses saling mempengaruhi antara agen dan
struktur dalam regulasi penyiaran yang berakibat pada adanya perubahan sikap.
Setidaknya, gambaran itu akan memberikan potret terbaru bagaimakah regulasi
penyiaran televisi akan berjalan di masa sekarang dan masa datang, serta dimana
kepentingan publik harus diperjuangkan.
iii
Deskripsi Lengkap