Di era persaingan global saat ini, pengetahuan (knowledge) telah menjadi
aset perusahaan yang paling strategis, dan belajar (learning) telah menjadi
kemampuan perusahaan yang paling strategi. Sehingga, organisasi tanpa
knowledge yang memadai tidak akan mampu mencapai tujuannya secara efektif
karena tidak sanggup belajar mengatasi masalah atau perubahan yang semakin
lama semakin sering/cepat bermunculan. Inilah relevansi kontekstual dari
pentingnya mewujudkan perusahaan sebagai organisasi belajar (learning
organization).
Salah satu faktor kunci dalam learning organization adalah kemampuan
mengatasi kesenjangan mengetahui-melaksanakan (knowing-doing gap). Gejala
knowing-doing gap telah menjadi masalah serius karena berbagai organisasi
mulai merasa investasi mereka untuk meningkatkan pengetahuan karyawan,
misalnya melalui training, menjadi sia-sia karena tidak memberi dampak bagi
kemajuan perusahaan.
Oleh karena itu, organisasi perlu mereformasi strategi belajarnya
terutama untuk mengatasi knowing doing gap. Beberapa studi tentang hal ini
telah dipublikasikan, salah satunya studi tentang difusi inovasi (Rogers, 1995).
Dalam difusi inovasi dipelajari faktor-faktor yang mendukung dan menghambat
diterapkannya inovasi baru ke dalam organisasi. Hasil studi itu mengemukakan
bahwa proses komunikasi memegang peranan vital dalam mengurangi
penolakan atau kegagalan penerapan pengetahuan baru di organisasi.
Konsep ini diperkuat oleh Rosenfeld & Servo (1991) yang
mengemukakan tentang kesenjangan komunikasi (communication gaps) dalam
proses difusi inovasi. Kesenjangan komunikasi ini meliputi lima hal, yaitu
ii
kesenjangan komunikasi intrapersonal, kesenjangan komunikasi interpersonal,
kurangnya pengetahuan (lack of knowledge), hambatan birokrasi di perusahaan,
dan sindrom merasa diserang oleh orang lain (foreign-body invasion syndrome).
Akar munculnya communication gaps, Menurut Dervin (1980), adalah dari
adanya kesenjangan informasi (information gap atau information inequity)
dimana selalu ada perbedaan kemampuan individu dalam menangkap,
mengolah, dan menyampaikan (mengkomunikasikan) informasi yang diterima
kepada orang lain.
Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk diteliti pengaruh faktorfaktor communication gaps yang menyebabkan knowing doing gap sebagai
materi tesis ini. Dalam lingkup perusahaan-perusahaan di Indonesia, studi ini
masih jarang dilakukan, padahal akibatnya telah dirasakan hingga saat ini.
Peneliti menjadikan lima faktor kesenjangan komunikasi sebagai variabel latenindependen, dan kesenjangan mengetahui-melaksanakan sebagai variabel laten
dependen. Selain itu, peneliti mencoba memasukkan empat variabel moderator,
yaitu budaya apresiatif dan budaya saling percaya (trust) yang mempengaruhi
kesenjangan komunikasi interpersonal, ketersediaan teknologi informasi yang
mempengaruhi kurangnya pengetahuan, serta rasa peduli-mengapa yang
mempengaruhi foreign-body invasion syndrome.
Penelitian dilakukan di level individu untuk mendapatkan persepsi tentang
faktor-faktor yang diteliti. Individu yang diteliti berasal dari satu jenis industri yaitu
agribisnis dan setiap individu merupakan wakil tiap departemen yang ada di
perusahaan tersebut, yang menjadi pimpinan proyek inovasi dan improvement di
bagiannya.
Hasil penelitian ini diperoleh beberapa kesimpulan. Kesimpulan tersebut
adalah kesenjangan mengetahui melaksanakan dipengaruhi secara signifikan
oleh kesenjangan komunikasi intrapersonal, kesenjangan komunikasi
interpersonal, kurangnya pengetahuan, dan hambatan birokrasi, serta
dipengaruhi secara tidak signifikan oleh foreign-body invasion syndrome. Budaya
apresiatif dan budaya saling percaya berpengaruh secara signifikan dalam
hubungan kesenjangan komunikasi interpersonal dan kesenjangan mengetahuimelaksanakan. Ketersediaan teknologi informasi berpengaruh secara signifikan
terhadap kurangnya pengetahuan karyawan, dan rasa peduli-mengapa
berpengaruh signifikan dalam mengikis foreign-body invasion syndrome. Saran
untuk penelitian lebih lanjut, dua variabel dari penelitian ini yaitu hambatan
birokrasi dan ketersediaan teknologi informasi sebaiknya diteliti di level
organisasi dengan menggunakan instrumen yang sudah distandarisasi, sehingga
analisis yang dihasilkan bisa lebih komprehensif, bukan hanya di level persepsi.
Saran selanjutnya yaitu melakukan pengambilan data di tipe organisasi/industri
yang berbeda, dengan melakukan pengambilan sampel secara random untuk
mendapatkan hasil model yang general.
Hasil penelitian ini dapat digunakan menjadi pijakan oleh organisasi
dalam menyusun instrumen belajar yang lebih sistematis dan terintegrasi. Faktorfaktor soft-skill seperti kemampuan komunikasi intra dan interpersonal,
pengembangan budaya apresiatif dan saling percaya, harus mulai secara serius
diperhatikan. Dengan mengoptimalkan faktor-faktor tersebut, maka diharapkan
akan tumbuh budaya belajar yang lebih efektif dan kontekstual dalam organisasi.
iii
Deskripsi Lengkap