Praktik paradiplomasi pertama kali muncul sejak Perang Dunia Satu dan mengalami
perkembangan pasca berakhirnya Perang Dunia Dua dan dan dimulainya Perang Dingin.
Dalam kurun waktu singkat, praktik paradiplomasi telah menyebar secara luas di berbagai
belahan dunia, seperti di Kawasan Asia, salah satunya adalah di Indonesia. Praktik
paradiplomasi di Indonesia pertama kali berlangsung sejak tahun 1960-an, kemudian
terus berkembang dan menjadi tren yang banyak diadopsi oleh pemerintah daerah di
Indonesia, termasuk dalam hal ini adalah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat
melalui kerja sama sister province dengan Provinsi Kujawsko-Pomorskie sejak tahun
2018. Pada April 2019, kerja sama ini melakukan penandatanganan Letter of Intent (LoI),
selanjutnya, memasuki tahun 2020-2022 kerja sama ini mengalami penurunan aktivitas
dan tidak menunjukkan progres yang signifikan. Dengan menggunakan pendekatan
kualitatif dan metode penelitian studi kasus, penelitian ini menelusuri mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhi dinamika proses implementasi kerja sama sister province ini,
dengan menggunakan teori utama yakni Paradiplomasi. Dari sini kemudian dicapai hasil
yang menunjukkan dinamika proses implementasi kerja sama sister province NTB dan
Kujawsko-Pomorskie dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang diklasifikasikan ke dalam
dua sisi, pertama faktor eksternal yang mencakup hubungan bilateral antara Indonesia dan
Polandia dan krisis Pandemi COVID-19. Kedua, faktor internal, diantaranya adalah
pertama, desentralisasi, kedua, birokrasi dalam aspek manajemen kelembagaan dan
keterbatasan sumber daya manusia dalam birokrasi di Pemerintah Provinsi NTB, ketiga,
kepemimpinan dan manajemen dalam aspek karakteristik dan demokratisasi pemimpin
dari Pemerintah Provinsi NTB. Demikian, kerja sama ini menunjukkan praktik
paradiplomasi yang buruk yang dipengaruhi oleh faktor keterbatasan pada sumber daya
manusia dan karakteristik dari kepemimpinan Pemerintah Provinsi NTB.
Deskripsi Lengkap