Kompleksitas industri media televisi swasta yang sudah menunjukkan
eksistensinya sejak 18 tahun, bukan hanya pada persoalan produksi, distribusi dan
konsumsi, namun juga pada persoalan peran dan fungsinya bagi publik, penguasa
dan bagi industri itu sendiri. Sebagai sebuah institusi ekonomi, media televisi berhak
untuk beroperasi berdasarkan logika bisnis untuk mencari keuntungan maksimal.
Namun di sisi lain karena keberadaannya di ranah publik, yang memiliki fungsi dan
peran yang strategis baik dalam konteks sosial, politik maupun budaya, maka
keberadaan media televisi wajib pula memenuhi harapan publik akan tanggung jawab
sosial (responsibilitas) dan akuntabilitasnya.
Dalam delapan tahun terakhir, pasca runtuhnya Orde Baru, industri televisi
mengalami perkembangan yang sangat pesat, bukan hanya pada skala industrinya,
namun juga moda produksi dan konsumsinya. Jika pada masa Orde Baru, televisi
terus mendapat tekanan dan kontrol ketat pemerintah (dalam kekuasaan state
regulation) sehingga tidak memiliki keleluasaan dalam menjalankan peran dan
fungsinya; saat ini mereka telah menemukan kebebasannya. Bahkan industri televisi
di Indonesia cenderung segera masuk ke dalam cengkeraman market regulation.
Seiring dengan perkembangannya, keberadaan media televisi justru
mendapat kecaman dari berbagai kalangan karena televisi dinilai telah menjual
mimpi, hedonisme, memproduksi kekerasam, mengajarkan pornografi, mistik, dan
memicu perilaku buruk bagi masyarakat. Bahkan produk budaya yang dihasilkan
media televisi, dinilai mengganggu dan membahayakan terutama bagi kalangan anak
anak.
Apa yang ditampilkan media televisi dipersepsikan sebagai sebuah realitas
budaya yang mengandung nilai nilai tertentu, yang kemudian diadopsi dan dianut
sebagai budaya massa. Padahal realitas yang dibangun media, adalah realitas yang
subyektif, yang tidak bebas dari tarik-menarik berbagai kepentingan internal maupun
eksternal, lokal maupun global. Faktor internal, mempersoalkan karakteristik individu,
dan rutinitas yang berlangsung dalam organisasi media. Sementara faktor eksternal
dipengaruhi oleh kekuatan pasar, pengiklan, dan tekanan pemerintah, serta ideologi
iv
yang mempersoalkan berbagai nilai dan kepercayaan. Selera lokal merupakan salah
satu perhatian industri televisi sementara tren global sering dianggap sebagai sebuah
super-culture.
Tesis ini melakukan penelitian tentang akuntabilitas publik televisi, terutama
dengan menggunakan unit analisis program televisi yang memperoleh rating tertinggi
pada bulan Mei 2007. Pendekatan ekonomi-politik konstruksionis yang digunakan
meliputi analisis di level mikro (isi tayangan dengan alat analisis pendekatan
Television-Code John Fiske), level messo (analisis produksi dan konsumsi acara
tersebut) dan level makro (sistem sosial, budaya, ekonomi, politik, yang terkait
dengan globalisasi, komodifikasi, massifikasi, dan standarisasi).
Penelitian ini menemukan bahwa orientasi membuat program televisi terutama
untuk meraih rating tinggi, dan kemudian bisa mendatangkan iklan sebanyakbanyaknya, sejalan dengan konsep komodifikasi, massifikasi, dan standarisasi.
Program yang bisa mendapatkan rating tinggi, adalah program program hiburan
seperti sinetron dan film, sehingga tidak salah jika kemudian dominasi hiburan pada
media televisi sangat kuat. Rating harus diakui kini telah menjadi ?dewa? bagi seluruh
pelaku industri televisi. Akibat pertimbangan semata-mata hanya untuk rating, maka
banyak muncul program program yang mengeksploitasi kekerasan, pornografi, mistik
dan horor.
Dalam konteks konsumsi program televisi, pemirsa pun cukup aktif
melayangkan surat protes atau keberatan terhadap beberapa program televisi seperti
itu, baik langsung kepada Komisi Penyiaran Indonesia maupun melalui surat
pembaca di media massa. Pada level makro, penelitian ini menemukan bahwa
keberadaan Undang Undang Penyiaran No 32 tahun 2002, yang seyogyanya akan
memberikan payung hukum, untuk melindungi kepentingan negara, publik, maupun
kepentingan industri media televisi sendiri ternyata belum sampai pada tahap
implementasi yang diharapkan. Penelitian ini secara empiris merekomendasikan
bahwa KPI sebagai lembaga yang memiliki tugas melakukan pengawasan terhadap
industri media televisi, sebagai representasi dari kepentingan publik dan pelaku
industri televisi, mestinya segera bebas dari keterlibatan tarik ulur mengenai wilayah
kekuasaannya sendiri (terutama dengan Departemen Komunikasi dan Informatika).
Implikasi teoretis penelitian ini mengarah pada dorongan untuk lebih banyak
menggunakan analisis kualitatif dengan Television Code yang diinterpretasi berdasar
kode-kode (level messo dan makro) yang khas pada historical situatedness Indonesia
tertentu.
Deskripsi Lengkap