Persoalan identitas cina di Indonesia tak lepas dari masalah politik
kekuasaan dan intervensi negara. Identitas cina mengalami gradasi sejak 1965.
Rezim berkuasa berupaya menghilangkan simbol-simbol identitas kecinaan.
Semua aspek yang berhubungan dengan simbol bahasa dan budaya cina
dihapuskan. Tujuannya untuk mengidentifikasi diri dan sebagai simbol loyalitas
keindonesiaan.
Tesis ini menjelaskan tentang identitas Cina era reformasi di kalangan
generasi muda Cina (pelajar SMA). Gambaran tentang pergulatan identitasnya
akan dijelaskan dengan teori Modal Budaya Pierre Bourdieu. Strategi atas
kepemilikan modal merupakan salah satu cara yang digunakan Bourdieu untuk
menentukan posisi seseorang (identitas). Selain modal budaya, juga ada normanorma. Ada tiga norma yang dipergunakan dalam melihat persoalan identitas
cina di Indonesia, yaitu norma budaya cina, norma budaya modern dan norma
politik. Dari ketiga norma itu, selama rezim orde baru, norma politik memiliki
pengaruh dominan dalam mengkonstruksi identitas cina di Indonesia.
Norma politik yang dibangun oleh rezim berkuasa, telah memunculkan
stereotype dan perilaku diskriminatif terhadap komunitas cina. Selama rezim orde
baru, masyarakat Cina tidak memiliki akses kepada sumber-sumber politik dan
kekuasaan, akan tetapi diberikan kesempatan bahkan privelege terhadap
penguasaan sumber-sumber ekonomi. Akibatnya timbul disparitas sosial dalam
bidang ekonomi antara cina dengan non cina (pribumi). Komunitas cina yang
memiliki kelebihan dalam akses sumber ekonomi, tapi tidak memiliki akses politik
kekuasaan, berhadapan dengan komunitas non cina yang memiliki akses
kekuasaan, tapi tidak memiliki penguasaan terhadap sumber-sumber ekonomi.
Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan
menggunakan metode wawancara mendalam. Untuk menganalisa identitas
generasi muda Cina digunakan lima informan dengan kriteria pertama masih
memiliki marga, kedua merupakan generasi ketiga yang berarti salah satu dari
iii
kakek/nenek lahir di daratan Cina, ketiga memiliki istilah kekerabatan dan
ikeempat I masih memiliki dan menggunakan benda-benda trasidisional Cina.
Temuan tesis ini membuktikan bahwa persoalan identitas merupakan
realitas subyektif yang dikonstruksi dan selalu berkaitan antara agen dan
struktur. Dengan demikian identitas bukanlah sesuatu yang final, karena dia akan
selalu berdialektika dengan relasi sosial dan posisi sosial yang dimilikinya. Dan
dari dialektika tersebut, menghasilkan reproduksi sosial berupa strategi baru
untuk mempertahankan identitas kecinaan. Caranya dengan melibatkan marga
dan bahasa mandarin. Peran negara tetap diperlukan sebagai posisi dominan
dengan regulasi yang dikeluarkan, sehingga perubahan sosial untuk
mempertahankan budaya sebagai simbol identitas kecinaan bisa terus
berlangsung.
Deskripsi Lengkap