Di Indonesia, broker politik memiliki posisi yang strategis dalam pemilu akibat lemahnya
institusi partai politik dan bergantungnya politisi kepada jaringan-jaringan personalnya.
Akan tetapi, pembelotan broker masih menjadi masalah yang dihadapi para politisi.
Kasus di Pilkada Kota Cilegon Tahun 2020 menunjukkan bagaimana Sahruji sebagai
seorang clientelist broker membelot dari dinasti politik Aat Syafaat. Menggunakan Teori
Pembelotan Broker Politik oleh Aspinall (2014), penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis mengapa clientelist broker membelot dari politisi dengan prospek
kemenangan tinggi ke politisi dengan prospek kemenangan yang lebih rendah. Penelitian
ini berargumen bahwa pembelotan clientelist broker dipengaruhi oleh motivasi patronase
yang ia inginkan dan melemahnya hubungan hierarkis dengan patron-nya. Penelitian ini
menemukan bahwa terdapat pelemahan hubungan hierarkis antara broker dengan patron-
nya yang menjadi faktor penunjang pembelotan, serta adanya faktor penentu di mana
clientelist broker membelot kepada politisi yang bisa menyediakan patronase yang ia
inginkan. Dalam kasus ini, clientelist broker memiliki motivasi untuk menguasai institusi
partai demi memperkuat pengaruh politiknya. Untuk itu, dapat dianalisis bahwa konteks
lemahnya institusi partai membuat clientelist broker yang ingin menguasai partai lebih
bergantung kepada elit partai yang berkuasa dibandingkan politisi dengan prospek
kemenangan tinggi dalam pemilu. Kesimpulan yang didapat adalah bahwa clientelist
broker akan mendukung politisi patron manapun yang dapat mewujudkan keinginannya,
baik di lingkup pemerintahan atau nonpemerintahan. Selain itu, penelitian ini juga
menunjukkan bagaimana hubungan antara clientelist broker dan partai politik pada
konteks budaya politik informal dapat bersifat kompatibel di mana keduanya bisa saling
menguntungkan.
Deskripsi Lengkap