Pasca Perang Dingin, Tiongkok muncul sebagai ancaman baru bagi hegemoni AS, baik
di bidang politik, ekonomi, maupun militer. Persaingan AS-Tiongkok di Asia Pasifik
menimbulkan gejolak pada stabilitas global. Intensitas Aliansi Quad (AS, Australia,
Jepang, India) dalam melakukan ekspedisi militer gabungan di Samudera Hindia dan
agresivitas Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan yang bersengketa dengan 5 negara
(Vietnam, Malaysia, Brunei, Filipina, Taiwan) mengancam keamanan ASEAN yang
berada pada konvergensi persaingan tersebut. Rivalitas AS-Tiongkok semakin intens
sejak Presiden Donald Trump mengemukakan gagasan Free and Open Indo-Pacific
(FOIP) ketika kunjungan pertamanya sebagai Presiden AS ke Asia pada 10 November
2017. Hal ini kemudian direspon oleh Pemerintah Tiongkok dengan meningkatkan
anggaran militernya sebesar USD 22,09 miliar di tahun 2018 dari yang biasanya hanya
sekitar USD 2-12 miliar. Indonesia sebagai salah satu pendiri ASEAN dengan letak
geografis yang strategis di antara 2 benua (Asia, Australia) dan 2 samudera (Hindia,
Pasifik) mendorong ASEAN agar merumuskan konsepsi Indo-Pasifik yang berorientasi
pada prinsip sentralitasnya. Atas inisiatif Indonesia, akhirnya ASEAN membentuk
ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) pada KTT ASEAN ke-34 di Bangkok
tanggal 22 Juni 2019. Pada kajian lainnya belum ada yang secara spesifik menjelaskan
tujuan strategis Indonesia mendorong ASEAN untuk membentuk AOIP dalam merespon
geopolitik AS-Tiongkok. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
fenomena tersebut dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan Role Theory
dari K. J. Holsti (1970). Berdasarkan hasil riset, peran Indonesia dalam pembentukan
AOIP meliputi regional protector, regional-subsystem collaborator, dan mediator-
integrator. Peran tersebut didorong oleh prinsip ?Bebas Aktif? dan program ?Poros
Maritim Dunia? oleh Presiden Jokowi dalam rangka memperkuat potensi middle power
Indonesia, meningkatkan peran ASEAN, dan menghadirkan kerja sama Indo-Pasifik.
Deskripsi Lengkap