Kemajuan teknologi informasi dan internet membuka peluang munculnya bentuk-
bentuk baru dari pelecehan seksual terhadap perempuan. Media sosial seperti Twitter
pun menjadi tempat bentuk baru pelecehan seksual marak terjadi. Meningkatnya
penggunaan Twitter selama pandemi COVID-19 semakin memperbanyak kasus
pelecehan seksual yang terjadi. Cyber flashing sebagai tindakan mengirim foto seksual
eksplisit secara tiba-tiba dan tanpa persetujuan penerimanya menjadi salah satu bentuk
pelecehan seksual yang difasilitasi teknologi serta terjadi di Twitter. Penelitian ini
mendeskripsikan bagaimana cyber flashing dipraktikkan di Twitter. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif yang mencakup observasi partisipan serta melibatkan
perempuan pengguna Twitter yang menjadi korban dari praktik cyber flashing dalam
wawancara mendalam. Praktik cyber flashing sebagai bentuk pelecehan seksual online
menghambat perempuan dalam mewujudkan agensi mereka melalui ekspresi diri di
Twitter. Penelitian ini juga melihat bagaimana perempuan memahami praktik cyber
flashing serta bagaimana perempuan menanggapi praktik ini melalui tindakan resistensi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan melakukan bentuk resistensi
nontradisional dengan memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki di platform
media sosial ini. Pada akhirnya, perempuan membentuk rasa aman dan mewujudkan
agensi yang dimiliki dengan cara mereka sendiri.
Deskripsi Lengkap