Persembahan sajen kepada leluhur dalam keseharian serta dalam ritual Karo telah
menjadi adat yang mengakar pada masyarakat Tengger. Tindakan yang berulang
ini membentuk keterhubungan di antara yang hidup dan yang mati maupun
dengan sesama yang hidup hingga dicitakanlah kehidupan yang harmonis.
Namun, di balik romantisme tersebut mengandung perubahan sosial dan
kontradiksi nilai sebagai konsekuensi dari modernisasi agama. Masuknya agama
Hindu yang monoteistik berbenturan dengan kepercayaan adat Tengger yang
pluralistik. Tesis ini mempertanyakan tentang bagaimana masyarakat Tengger
menyikapi perubahan sosial yang muncul dalam adat istiadat mereka di tengah
modernisasi agama? Serta bagaimana mereka mengelola kontradiksi nilai di
antara agama Hindu dan adat Tengger dalam etika keseharian dan ritual Karo
yang ditandai dengan persembahan untuk leluhur dan kerabat? Penelitian ini
dilakukan di Desa Jetak, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa
Timur pada Agustus 2021 dan berlanjut secara berkala melalui media telepon.
Saya berpartisipasi dan melakukan wawancara mendalam dengan dukun, pemuka
adat, pemuka agama, dan beberapa masyarakat Tengger. Saya menggunakan
kerangka adopsi dalam Robbins guna menggambarkan masyarakat Tengger yang
hidup dalam duplex cultural formation dengan menempatkan nilai adat dan nilai
agama sebagai nilai tertinggi secara bersamaan. Ini bersinggungan dengan upaya
perajutan pertalian dengan leluhur sebagaimana dikerangkai dalam konsep
ancestorship serta pertalian dengan sesama kerabat yang terjelaskan lewat konsep
kinship. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semirip apapun agama Hindu dan
adat Tengger, keduanya tetaplah berjarak. Ini tergambar dalam etika keseharian dan ritual Karo di mana masyarakat Tengger memisahkan agama dan adat secara temporal dan spasial.
Deskripsi Lengkap