IMT-GT merupakan contoh dari subregionalisme yang dibentuk pada tahun 1993 untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Seluruh
implementasi blueprint IMT-GT 2007-2021 memfokuskan kepada infrastruktur dan
agrikultur. Tahun 2014, pada Pertemuan Menteri IMT-GT ke-20 melahirkan kesepakatan
pengembangan 73 proyek dan 11 proyek yang disepakati. Dari 11 proyek, Indonesia
mendapat 6 proyek dan Provinsi Riau mendapat 2 proyek, salah satunya adalah proyek Roll
on Roll off (RoRo) Dumai-Melaka. Namun, hingga tahun 2022 proyek ini masih belum
beroperasi walaupun infrastruktur sudah ada dan masih menunggu status Memorandum of
Understanding (MoU) dari pihak Malaysia. Studi ini menganalisis hambatan dalam realisasi
proyek tersebut. Penulis menggunakan konsep segitiga pertumbuhan dari Tongzon dan
kebijakan proteksionisme dari Abboushi untuk menjelaskan faktor penyebab terhambatnya
proyek tersebut. Berdasarkan analisis kualitatif dengan menggunakan data-data skunder dan
wawancara, penulis menemukan bahwa infrastruktur yang belum memadai, harmonisasi
regulasi yang sulit baik antar negara maupun dalam negara (pusat dan daerah/ antara aktor
domestik, termasuk sektor swasta), ketidakjelasan distribusi keuntungan dan proteksionisme
menjadi faktor penghambat realisasi proyek tersebut. Dari hasil temuan tersebut penulis
berkesimpulan bahwa koordinasi antar aktor baik dilevel nasional maupun dengan negara mitra menjadi kunci keberhasilan dalam kerja sama sub regional (segitiga pertumbuhan).
Deskripsi Lengkap