Hubungan Uni Eropa (UE) dan Myanmar mengalami pasang surut sejak tahun 1990an hingga saat
ini, dan diwarnai banyak pemberian sanksi UE atas Myanmar. Hubungan mereka mulai membaik
ketika Myanmar melakukan transisi politik di tahun 2010. Sanksi-sanksi UE dicabut dan
peningkatan kerja sama terjadi seiring dengan perubahan politik Myanmar. Namun, pasca
demokrasi, hubungan keduanya kembali memanas ketika terjadi penyerangan oleh militer
Myanmar terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine pada tahun 2017. Ribuan etnis
Rohingnya dilaporkan menjadi korban dan mengakibatkan arus pengungsi cukup besar keluar
Myanmar. UE merespon tindakan militer Myanmar dan mengecam pemerintah yang dianggap tidak
melakukan apa-apa. Namun, respon UE kali ini tidak setegas dan sekeras sanksi-sanksi UE
sebelumnya. Sanksi UE menuai protes dari NGO dan pembela hak asasi manusia karena dianggap
tidak memberikan insentif yang kuat bagi militer Myanmar. Tesis ini bertujuan untuk menganalisis
praktik teori Selective Aid Sanctions dalam keputusan sanksi bantuan UE ke Myanmar terkait
konflik Rohingya 2017-2019. Penelitian ini bersifat kualitatif dan fokus pada faktor yang
mempengaruhi keputusan UE dalam memberikan sanksi kepada Myanmar. Berdasarkan teori
Selective Aid Sanctions, keputusan sanksi UE ini kemungkinan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu
kondisi hubungan UE-Myanmar, eksternalitas negatif yang ditimbulkan terhadap UE dan
pertimbangan jenis sanksi bantuan luar negeri. Penulis menemukan bahwa kondisi hubungan UE-
Myanmar yang sudah semakin membaik meningkatkan kepentingan ekonomi maupun keamanan
UE di Myanmar sehingga sulit untuk membuat keputusan sanksi seperti dahulu. Sementara untuk
dua variabel lainnya, penulis tidak menemukan keterkaitan yang kuat yang dapat mempengaruhi keputusan sanksi UE.
Deskripsi Lengkap