Penelitian ini ingin menganalisis kekalahan Ratu Ati Marliati pada pilkada Cilegon dan
kemenangan Ratu Tatu Chasanah pada pilkada Kabupaten Serang. Padahal kedua
petahana dari dua dinasti politik di Kota Cilegon dan Kabupaten Serang memiliki
beberapa kesamaan, baik latar belakang keluarga maupun dukungan politik. Hal ini
terjadi karena beberapa faktor yang menyebabkan mereka berbeda nasib dalam pilkada
serentak pada 2020 di kedua wilayah ini. Penelitian menggunakan teori boundary control
Gibson (2012), dan dilengkapi dengan analisis strategi informal dan ilegal dari Buehler
(2018) dan permainan tertutup (closed game) dari Behrend. Menggunakan metode
kualitatif, penelitian ini memperlihatkan bahwa faktor kekalahan Ratu Ati disebabkan
kegagalan dalam menerapkan strategi boundary strengthening, yang kemudian diiringi
dengan keberhasilan oposisi menerapkan strategi boundary opening. Faktor-faktor yang
menyebabkan kekalahan itu adalah ketiadaan aktor utama, konflik kepentingan elit partai,
kontrol politik yang lemah, mesin politik tidak bekerja optimal, tidak ada akses terhadap
elit partai di pusat, dan banyaknya kompetitor. Sedangkan faktor kemenangan Tatu
Chasanah karena dia berhasil menerapkan boundary strengthening. Hal ini tampak dari
besarnya dukungan partai politik, memobilisasi dukungan baik dari birokrasi maupun dari
kelompok-kelompok masyarakat, sehingga mampu mengubah arena permainan menjadi
tidak kompetitif. Hal ini memperkuat teori dari Gibson mengenai strategi boundary
strengthening dan strategi boundary opening di Kota Cilegon dan Kabupaten Serang.
Deskripsi Lengkap