Tesis ini membahas repertoar sebagai strategi perlawanan serta menguji konsep Ruang
Publik Digital selama bergulirnya wacana RUU Omnibus Law di Twitter. Penolakan
masif terjadi karena pengesahan RUU Omnibus Law berdampak buruk pada nasib para
tenaga kerja dan karpet merah dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Penelitian ini
menggabungkan penelitian kualitatif berbasis digital dengan software Netlytic dalam
menghimpun data serta Wordji dan Gephi demi memenuhi kebutuhan mendeskripsikan
jejaring lewat Social Network Analysis (SNA). Penelitian ini menunjukkan bahwa para
pegiat dan berbagai organisasi sipil menjadi aktor dominan dalam menawarkan narasi
tandingan sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni Negara. Meskipun begitu, relasi
yang terbangun menunjukkan ketimpangan (asimetris), dimana informasi yang
disebarkan oleh aktor dengan pengaruh tinggi tidak membutuhkan umpak balik
(feedback) namun tujuan utama dari penyebaran informasi ini bisa menjangkau aktor
yang lebih luas. Framing juga menjadi salah satu strategi dalam mengungkap konflik
kepentingan para elit dan membangun konsensus hasil dari proses interaktif dan diskursif,
salah satunya lewat hashtag yang menjadi identitas perlawanan. Peristiwa RUU Omnibus
Law menunjukkan bahwa Twitter tidak cukup memadai dalam kerangka Ruang Publik
Digital. Namun demikian, Twitter menjadi media sosial yang paling demokratis dengan
menunjukkan dukungannya dan keberpihakannya kepada aktivisme digital dan upaya-
upaya penegakan demokrasi dan HAM.
Deskripsi Lengkap