Dalam satu dekade terakhir, peningkatan dari pelepasan emisi karbon ke atmosfer terus
meningkat, hingga mencapai puncak emisi karbon terbesar dalam sejarah di tahun 2020.
Pertambahan dari emisi karbon ini sendiri kemudian menjadi isu yang cukup dibahas oleh
masyarakat, mengingat pertambahan dari emisi karbon tersendiri dapat
mengimplikasikan terjadinya degradasi lingkungan dan perubahan iklim. Untuk
mencegah terjadinya degradasi lingkungan lebih lanjut dan juga perubahan iklim, upaya
reduksi terhadap emisi karbon pun telah dilakukan melalui pendekatan green capitalism.
Salah satu bentuk kebijakan yang telah diimplementasikan adalah dengan melalui
implementasi carbon pricing; kebijakan yang menetapkan batas dan memberi harga atas
jumlah karbon yang diproduksi dan dikonsumsi. Cina, sebagai negara dengan jumlah
emisi karbon terbanyak di dunia pun memiliki komitmen untuk mereduksi emisi karbon
di negaranya dengan mengimplementasikan sejumlah kebijakan pembangunan
berkelanjutan, termasuk implementasi kebijakan carbon pricing dengan
mengimplementasikan Emission Trading System (ETS). Biarpun telah berkomitmen
terhadap upaya reduksi emisi karbon, dan telah merencanakan hingga
mengimplementasikan skema ETS, ketergantungan Cina terhadap bahan bakar fosil pun
menjadi sebuah permasalahan. Melihat hal tersebut, studi ini secara dalam akan
membahas mengenai bagaimana dampak dari ketergantungan Cina terhadap upaya
reduksi emisi karbon melalui ETS.
Deskripsi Lengkap