Perubahan iklim yang mengancam berbagai lini kehidupan mendesak negara-negara
untuk mewujudkan komitmennya dalam Perjanjian Paris, utamanya dalam menekan serta
menurunkan rata-rata suhu global hingga 2°C, melalui kebijakan domestiknya masing-
masing. Upaya mencapai target suhu tersebut salah satunya ditempuh dengan menekan
laju emisi di tiap negara. Laju emisi mayoritasnya dihasilkan dari sektor energi melalui
konsumsi listrik dan karenanya, pengurangan emisi di sektor ini menjadi langkah yang
determinan. Singapura merupakan salah satu negara yang menandatangani Perjanjian
Paris sekaligus menjadi negara yang mengelola sekaligus mengkonsumsi energi hasil
olahan gas alam secara intens. Kondisi ini mendesak pemerintah untuk mengatur ulang
strategi pemanfaatan gas alam agar tidak menghasilkan emisi dalam jumlah yang masif
melalui kerangka Long-Term Low Emissions Development Strategy (LEDS). Profilnya
sebagai negara pembangunan (developmental state) berikut dengan rekam jejak
efektivitas dalam mencapai tujuan pembangunan tersebut berimplikasi terhadap
pengelolaan lingkungannya yang dilakukan secara otoritarian (authoritarian
environmentalism). Tata kelola lingkungan seperti ini ditempuh dan dipertahankan
dengan harapan Singapura dapat mencapai target kebijakan iklimnya secara efektif tanpa
mengorbankan perekonomiannya. Temuan dalam riset ini adalah tata kelola authoritarian
environmentalism yang berorientasi pada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
dalam kebijakan iklim mampu memberikan manfaat bagi perekonomian dan lingkungan
sehingga pengelolaan ini terus dipertahankan guna mencapai dasar cita-cita
pembangunan Singapura.
Deskripsi Lengkap