Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika politik pertahanan dan
keamanan udara Indonesia, terkhusus pada sengketa pengelolaan navigasi penerbangan
di wilayah udara Kepulauan Riau yang didelegasikan ke otoritas Singapura atau dikenal
dengan Flight Information Region (FIR). Pendelegasian ini awalnya didasari oleh alasan
keselamatan dan efisiensi penerbangan mengingat ketidakmampuan Indonesia dalam hal
sarana dan SDM di bidang navigasi penerbangan. Namun alasan ini berubah menjadi
strategi Singapura untuk memaksimalkan kepentingan nasionalnya dan berdampak bagi
kedaulatan Indonesia. Pemerintah Indonesia sudah melakukan upaya pengambilalihan
FIR ini sejak tahun 1983. Hingga pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo mengeluarkan
Instruksi Presiden mengenai percepatan pengambilalihan FIR Singapura. Inpres tersebut
mengamanatkan agar FIR Kepulauan Riau sudah dilekola secara mandiri paling lambat
pada tahun 2019. Presiden juga membentuk Pokja terkait yang diketuai oleh Menteri
Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Namun hingga saat ini upaya tersebut
belum berhasil meskipun Indonesia telah memiliki sarana dan SDM yang mampu
mengelola wilayah navigasi penerbangan tersebut. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Teori yang digunakan
untuk penelitian ini ialah Teori Desekuritisasi oleh Ole Waever (1993) dan Teori
Pengambilan Keputusan oleh Richard Snyder (1954) dan Graham T. Allison (1971).
Proses pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam, dan
tinjauan pustaka. Penelitian ini menghasilkan indikasi bahwa pengambilalihan FIR
Singapura di Kepulauan Riau terhambat karena faktor perbedaan kepentingan dari
lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang meliputi kepentingan ekonomi dan
kepentingan pertahanan. Dimana dalam kontestasi kepentingan ini, lembaga legislatif
menggunakan pendekatan sekuritisasi dan lembaga eksekutif dengan pendekatan
desekuritisasi.
Deskripsi Lengkap