Cilegon merupakan kota industri yang terletak di ujung paling barat Pulau Jawa. Beragam kelompok etnis yang memiliki keyakinan agama berbeda-beda datang untuk bekerja maupun menempuh pendidikan di kota ini seperti etnis Tionghoa, Jawa, Batak, Minang, Manado, dan sebagainya. Walaupun demikian, di Kota Cilegon hanya berdiri rumah ibadah umat muslim (masjid atau musholla), dengan kata lain tidak ada satupun rumah ibadah seperti gereja, vihara, dan pura. 7 September 2022, publik dihebohkan dengan berita Walikota Cilegon, Helldy Agustian menandatangani petisi penolakan pendirian gereja HKBP Maranatha Cilegon. Walikota Cilegon menyebut alasan dirinya menandatangani petisi penolakan tersebut untuk menerima aspirasi sebagian besar warga Cilegon (umat muslim) dan menjaga kondusivitas masyarakat Cilegon. Tulisan ini mengkaji konflik pendirian rumah ibadah melalui perspektif hegemony dan counter-hegemony. Melalui perspektif hegemoni, kita bisa melihat sosok dan peran kelompok elit Cilegon (kyai dan jawara) dan tindakan mereka menggagalkan pendirian rumah ibadah (gereja) demi menjaga marwah kota Cilegon sebagai kota santri. Kultur kota santri ini merupakan embrio dari peristiwa sejarah Geger Cilegon 1888, saat para kiai dan santri melakukan pemberontakan melawan kolonial Belanda. Seperti yang kita ketahui, sosok kyai dan jawara di Banten, khususnya Cilegon memiliki kedudukan khusus dalam perjalanan sosiohistoris sejak masa kesultanan hingga masa kini. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan etnografi melalui teknik pengamatan terlibat dan wawancara mendalam dengan beberapa subyek. Selain catatan etnografi sebagai data primer, penulis juga menggunakan sumber dari jurnal penelitian, berita media massa, podcast di youtube sebagai data sekunder untuk mendukung data utama penelitian.
Deskripsi Lengkap