Gejala korupsi telah berkembang dan menyebabkan krisis di berbagai negara, termasuk di Indonesia pada era reformasi 1998. Pasca runtuhnya rezim Orde Baru (1998-2023), gejala korupsi tidak menurun, tapi semakin merebak sebagai konsekuensi dari perubahan politik dan ekonomi. Masih sedikit studi membahas korupsi sebagai tindakan sosial dan gerakan antikorupsi dalam arena sosial yang bersifat dinamik. Gerakan reformasi membuka kesempatan bagi aktor antikorupsi berinteraksi dengan berbagai elemen masyarakat, termasuk lembaga negara, mengembangkan aksi kolektif. Para aktivis mendorong terbentuknya lembaga independen pemberantasan korupsi (KPK) sebagai aktor baru dalam arena pemberantasan korupsi. Penelitian ini menggunakan metoda naratif dan studi kasus untuk menggali pengalaman aktor antikorupsi ketika berada di luar dan di dalam pemerintahan. Kerangka arena tindakan strategik (Fligstein dan McAdam 2011 dan 2012) digunakan untuk memotret pertarungan antara kelompok petahana dan penantang. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan menelusuri biografi sejumlah aktor, serta analisis terhadap dokumen kebijakan pemerintah dan pemberitaan media terhadap kasus-kasus korupsi yang menonjol. Kontribusi penelitian secara sosiologis ialah menampilkan potret episodik korupsi dalam kerangka perubahan sosial dan transformasi arena pemberantasan korupsi tatkala terjadi pergeseran posisi aktor.
Deskripsi Lengkap