Penelitian ini mengkaji peningkatan konflik agraria di perkebunan sawit setelah implementasi kebijakan ISPO tahun 2011-2020. Tujuan ISPO untuk mengatur pengelolaan perkebunan kelapa sawit oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam praktiknya tidak terlepas dari potensi konflik lahan akibat terjadinya tumpang tindih perizinan. Persoalan yang ditimbulkan oleh ISPO adalah semakin maraknya pembukaan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan perkebunan sawit pihak swasta yang sering menimbulkan konflik dengan masyarakat, khususnya masyarakat adat. Konflik-konflik yang terjadi tersebut menimbulkan perlawanan dari masyarakat adat seperti yang terjadi di masyarakat adat Dayak di Kabupaten Sanggau. Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan studi kualitatif. Konsep policy implementation model oleh Merilee S. Grindle (1989) dipilih untuk menganalisis pengaruh elite kebijakan dan proses pembuatan kebijakan dalam menyebabkan perubahan sosial dan politik seperti dalam implementasi ISPO. Selain itu, teori konflik dan resistensi oleh James Scott (1972) dijadikan analisis penulis untuk melihat segala bentuk resistensi atau perlawanan yang dilakukan oleh kelompok lemah atau subordinat yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak perlakuan kelompok penguasa seperti perlawanan masyarakat adat Dayak terhadap perusahaan perkebunan sawit (PT MAS). Temuan dalam penelitian ini adalah perlawanan masyarakat adat Dayak di Kabupaten Sanggau kepada PT MAS lebih efektif dilakukan dengan resistensi tertutup dibandingkan resistensi terbuka karena implementasi resistensi tertutup dengan melaporkan PT MAS kepada RSPO dan lembaga internasional lainnya oleh TuK Indonesia selaku perwakilan masyarakat adat Dayak di Sanggau berujung keluarnya PT MAS dari Kabupaten Sanggau pada tahun 2020.
Deskripsi Lengkap