Disertasi ini menganalisis secara mikroskopis baliak ka nagari (kembali ke nagari), desentralisasi dan otonomi desa sebagai proses retradisionalisasi di Sumatera Barat yang menunjukkan temuan berbeda. Setelah lebih dua puluh tahun desentralisasi dijalankan, sebagai upaya mengevaluasi pemerintahan Orde Baru yang sentralistik, ternyata tujuan yang diharapkan belum tercapai. Penelitian etnografi dilakukan selama delapan bulan di Nagari Pariangan, hasil penelitian menunjukkan temuan hilangnya proses adat di dalam pemanfaatan properti untuk pembangunan dan memperlihatkan elit tradisional maupun Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai lembaga adat dalam sejarah yang panjang kehilangan momentum dan menjadi lemah karena kehilangan otoritas adat untuk pengambilan keputusan pembangunan. Otoritas adat berjalan dalam pengertian sempit sebagai upacara atau eksebisi. Penguatan otonomi dengan perda propinsi yang baru malah tidak relevan dengan posisi tradisional KAN Nagari Pariangan. Ada keunikan lokalitas nagari yang berbeda, yang menunjukkan diskontinuitas dan kontinuitas peran elit lokal tradisional secara kelembagaan. Diskontinuitas terjadi sejak masuknya kekuasaan supra nagari yang membatasi peran elit lokal, kontinuitas hanya terjadi pada peran adat yang sempit. Babaliak (berbalik) ka nagari dengan retradisionalisasi revival raso (sense) sebagai budaya politik banagari, bamamak, bakamanakan dengan imajinasi untuk menguatkan lembaga dan elit tradisional.
Deskripsi Lengkap