Hate crime berupa penutupan paksa Pondok Pesantren Al-Fatah harus dialami oleh para santri waria yang berada di dalamnya. Penutupan paksa tersebut merenggut hak atas religious freedom dan freedom for expression yang dimiliki para santri waria. Penutupan paksa yang dilakukan oleh Front Jihad Islam tersebut dilatarbelakangi oleh anggapan terhadap para santri waria sebagai individu yang menyimpang dan menyalahi kodrat. Timbulnya anggapan tersebut tidak terlepas dari paham patriarki, heteronormativitas, serta stigma yang mengakar dalam masyarakat. Penutupan paksa yang terjadi menimbulkan respon dari para santri waria. Mereka tidak serta merta menyerah akibat penutupan paksa Pondok Pesantren yang mereka alami. Setelah mengalami trauma, mereka bangkit dan menunjukan kemampuan resistensinya. Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa para santri waria memiliki kemampuan untuk melawan (resistensi) dan berdaya terhadap hate crime berupa penutupan Pondok Pesantren. Dalam menjelaskan pengalaman resistensi para santri waria, skripsi ini menggunakan teori queer criminology dengan teknik analisis naratif melalui kisah yang mereka tuturkan. Hasil analisis data menunjukkan bahwa budaya patriarki yang melanggengkan paham heteronormativitas serta stigma terhadap kelompok LGBTQ merupakan akar terjadinya hate crime terhadap santri waria. Penutupan paksa Pondok Pesantren tersebut menghasilkan respon dari para santri waria. Respon tersebut menunjukan kemampuan resistensi santri waria untuk berdaya di tengah situasi yang diskriminatif. Resistensi yang dilakukan didasari oleh agensi atau kemauan serta kesadaran para santri waria untuk mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Resistensi yang dilakukan lantas menjadikan para santri waria sebagai penyintas hate crime berupa penutupan Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta
Deskripsi Lengkap