Studi ini menganalisa dinamika politik kekuasaan yang terjadi pasca pemilu 2014 di Indonesia dengan implikasi pada pemerintahan yang terbelah (divided government), di mana satu koalisi partai politik menguasai pemerintahan di eksekutif, sementara koalisi yang lain menguasai DPR di legislatif pada awal pemerintahan terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) Tahun 2014-2019. Hal ini sebagai dampak dari kombinasi sistem presidensial dengan multipartai, di mana relasi eksekutif dan legislatif menunjukkan kecenderungan bahwa pemerintah dan oposisi sering kali gagal dalam mengambil keputusan bersama. Dalam kasus Indonesia pada pemerintahan Jokowi, krisis divided government dihadapi dengan upaya pemerintah untuk mencapai keseimbangan kekuatan politik demi berjalannya pemerintahan agar tidak terjadi deadlock. Studi ini menemukan bahwa eksekutif memainkan kotak alat eksekutif (executive toolbox) dengan menawarkan posisi strategis bagi pihak oposisi untuk bergabung pada koalisi pemerintah. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, studi ini berangkat dari konsep koalisi presidensial yang dikemukakan oleh Chaisty et.al. (2018) dalam menganalisa terbentuknya koalisi yang terjadi. Melengkapi teori Chaisty, penggunaan executive toolbox yang dikembangkan oleh Raile et al. (2011), transactional and transformational leadership oleh Karl W. Kuhnert dan Philip Lewis (1987) dan presidentialized party oleh Samuels dan Shugart (2010) juga diangkat sebagai alat bantu analisa dalam melihat kuasa eksekutif dalam merespon dinamika politik yang terjadi. Sebagai temuan penelitian, pemerintahan Jokowi menggunakan executive toolbox melalui strategi menarik dukungan partai oposisi di parlemen dengan menawarkan bergabung dengan koalisi pemerintahan Jokowi-JK pada periode 2014-2019. Studi ini menyimpulkan bahwa kepemimpinan Jokowi-JK berhasil menarik dukungan partai-partai politik melalui penggunaan executive toolbox dalam sistem pemerintahan presidensial.
Deskripsi Lengkap