Penelitian ini membahas tentang perbandingan praktik kekuasaan elit Kesultanan Bima dalam politik lokal pada pilkada Kota Bima dan Kabupaten Bima. Permasalahan dalam perbandingan praktik kekuasan elit Kesutltanan Bima ini adanya perbedaan keterpilihan elit kesultanan pada ranah pilkada, di mana pada ranah pilkada Kota Bima elit Kesultanan mengalami dua periode kekalahan dalam kontestasi pilkada. Sedangkan ranah pilkada Kabupaten Bima elit Kesultanan memenangkan empat periode pilkada. Penelitian ini menggunakan teori yang disebut Pierre Bourdieu Strukturalisme Genetik dengan perkakasnya yaitu habitus, modal, dan arena. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam kepada narasumber penelitian, serta pengumpulan data sekunder berupa dokumen-dokumen, gambar-gambar terkait. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa elit Kesultanan Bima memiliki habitus ?ingin eksis? dan memiliki empat jenis modal, yaitu modal ekonomi (asset tanah), modal sosial (lembaga pengelola tanah), modal budaya (gelar kebangsawanan dan gelar akademik), dan modal simbolik (pengakuan akan posisi sosial elit). Keterpilihan elit Kesultanan Bima pada ranah pilkada Kabupaten Bima adanya praktik relasi kekuasaan yang didasari adanya kuasa simbolik pada segmen masyarakat tertentu (masyarakat dan pengusaha), dan kuasa simbolik itu bekerja secara eufumistik atau halus karena keberadaan sistem simbol, serta sistem simbol itu ada karena determinasi modal yang dimiliki elit Kesultanan Bima. Sedangkan pada ranah pilkada Kota Bima kuasa simbolik tidak dapat bekerja secara efektik. Hal ini karena modal simbolik itu tidak dapat bekerja untuk menjadi kuasa simbolik pada segmentasi masyarakat Kota. Jadi keterpilihan elit Kesultanan Bima tidak hanya ditentukan oleh habitus dan modal, tetapi ada faktor kuasa simbolik yang seharusnya bekerja baik sebagaimana pada ranah pilkada Kabupaten Bima
Deskripsi Lengkap