Kudeta militer Myanmar pada 1 Februari 2021 sebagai penggagalan hasil Pemilu 2020 Myanmar menjadi fenomena yang menggemparkan di Asia Tenggara hingga seluruh dunia. Berbagai aksi protes dan perlawanan dari masyarakat sipil, EAOs, dan PDF terhadap militer Myanmar (SAC) kian memperkeruh situasi keamanan dan kondisi kemanusiaan di Myanmar. ASEAN merespons krisis tersebut dengan menunjuk Utusan Khusus untuk Myanmar demi mengupayakan mediasi antara pihak-pihak berkonflik, sejalan dengan konsensus bersama yang tertuang dalam Five-Point Consensus (FPC). Akan tetapi, mediasi belum tercapai hingga akhir Keketuaan Indonesia di ASEAN pada tahun 2023. Menanggapi fenomena tersebut, skripsi ini mempertanyakan mengapa Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar belum berhasil memediasi pihak-pihak berkonflik dalam krisis Myanmar sejak 2021 setelah melewati tiga Keketuaan ASEAN. Dengan menggunakan kerangka analisis special envoy communication-based approach, penelitian ini menemukan bahwa faktor kemampuan Utusan Khusus ASEAN dalam menginisiasi diskusi dan negosiasi, serta struktur dan pendekatan trust-building ASEAN yang menentukan arah gerak dan capaian Utusan Khusus berpengaruh terhadap keberhasilan upaya memediasi pihak-pihak berkonflik di Myanmar. Lebih lanjut, disimpulkan bahwa mediasi tidak tercapai jika salah satu indikator saja dalam kerangka analisis tidak terpenuhi, seperti transparansi yang luput diperhatikan ketika menjelang Jakarta Informal Meeting November 2023.
Deskripsi Lengkap