Penelitian ini berfokus pada perubahan orientasi politik Jokowi dalam relasinya dengan partai politik dari yang semula mengamankan kebijakan, menjadi mengamankan kekuasaan. Sebagai non pengurus struktural partai politik, Jokowi berupaya mempertahankan pengaruhnya pasca turun dari kursi kepresidenan melalui pembentukan koalisi pengusung calon pilihannya. Hal ini terjadi karena adanya pertemuan antara konteks kepartaian yang lemah dengan sumber daya Jokowi berupa pendukung militan, tingkat kepuasan 81%, dan kekuasaan partisan sehingga mendorong partai untuk bergabung demi memperoleh insentif elektoral. Merujuk pada teori inovasi otoriter, kartelisasi partai, dan presidensialisme koalisi penelitian ini melihat upaya yang dilakukan Jokowi dalam mempertahankan kekuasaan melalui relasinya dengan partai politik inti Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang beranggotakan PAN, Partai Golkar, dan Partai Gerindra. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data primer berupa wawancara bersama pengurus struktural partai inti KIM dan sekunder dari penelitian terdahulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengambilalihan eksekutif terjadi secara halus dan gradual dengan memanfaatkan aspek prosedural demokrasi berupa pemilu dan partai politik. Dari aspek substansi, terjadi penyempitan kompetisi dan penurunan akuntabilitas vertikal antara elite dan masyarakat karena pemilu menjadi arena pertarungan sempit bagi elite dan petahana yang saling mempertahankan kekuasaan.
Deskripsi Lengkap