Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mengapa kerja sama keamanan berhasil
dilakukan dan berjalan efektif, meskipun terdapat sensitivitas antarnegara. Hal ini terjadi
dalam kesepakatan kerja sama keamanan maritim di Laut Sulu pada tahun 2016, yaitu
Trilateral Cooperative Arrangement (TCA), yang berhasil mereduksi ancaman keamanan
di Laut Sulu di tengah isu sengketa wilayah Sabah antara Malaysia dan Filipina. Klaim
atas wilayah Sabah yang dilontarkan oleh Presiden Rodrigo Duterte pada tahun 2016
menimbulkan sensitivitas dalam hubungan antara Malaysia dan Filipina. Namun, pada
saat yang sama, ancaman di Laut Sulu akibat kejahatan transnasional semakin meningkat.
Dengan menggunakan teori kerja sama dalam sistem anarki, penelitian ini berargumen
bahwa kerja sama antara Filipina dan Malaysia terwujud karena adanya tiga faktor. Ketiga
faktor tersebut adalah adanya kepentingan bersama Malaysia dan Filipina terhadap Laut
Sulu, proyeksi kekhawatiran atas ancaman di masa depan, dan jumlah aktor serta
pemilihan mitra kerja sama yang sesuai. Melalui pendekatan kualitatif dan metode
causal-process tracing, ditemukan bahwa ketiga faktor ini mendorong Malaysia dan
Filipina untuk memprioritaskan kerja sama dalam mengatasi ancaman keamanan di Laut
Sulu serta mengesampingkan sensitivitas akibat sengketa wilayah Sabah.
Deskripsi Lengkap