Trend konflik sosial dalam bentuk tawuran berdasarkan Data Potensi Desa
(Podes) tahun 2011 sampai tahun 2021 cenderung mengalami penurunan yang cukup
signifikan secara nasional. Kondisi serupa juga terjadi di Provinsi DKI Jakarta, khususnya
Kota Jakarta Pusat. Pada empat kali periode pendataan, Provinsi DKI Jakarta selalu
menempati urutan tertinggi provinsi dengan banyak kelurahan yang pernah mengalami
perkelahian masal namun trendnya terus menurun meskipun kejadian tawuran masih ada
di beberapa titik. Kota Jakarta Pusat sendiri adalah kota yang rata-rata menyumbang
angka tertinggi kelurahan yang pernah mengalami tawuran. Data terbaru tahun 2023
mencatat terdapat setidaknya 15 kali terjadi perkelahian masal atau tawuran di Kota
Jakarta Pusat yang tersebar di Kecamatan Johar Baru, Kecamatan Menteng, Kecamatan
Kemayoran, dan Kecamatan Senen.
Kondisi ini menjadi menarik di tengah sajian data positif yang ada, sehingga
menimbulkan asumsi apakah penanganan yang dilakukan telah menyasar pada akar
masalah sebetulnya dari aksi tawuran atau hanya pada level tertentu saja, dan kendala apa
yang terdapat di dalamnya, sehingga aksi tawuran masih tetap ada. Penelitian ini mencoba
mengkaji implementasi dan kendala kebijakan penanganan konflik sosial tawuran di Kota
Jakarta Pusat periode tahun 2019-2023 dengan pendekatan kualitaitif dan jenis penelitian
deskriptif.
Pengumpulan data utama menggunakan wawancara mendalam terhadap 17
informan dari berbagai unsur dari pemerintah tingkat kota, kecamatan, kelurahan, sampai
pada tingkat masyarakat yang terlibat dalam implementasi kebijakan penanganan konflik
sosial di Kota Jakarta Pusat yang tergabung dalam lembaga masyarakat Forum
Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM). Hasil penelitian menunjukan komponen-
komponen implementasi kebijakan relative sudah terpenuhi terdiri dari unsur standar
kebijakan mencakup pedoman, tujuan, dan bentuk kebijakan penanganan konflik sosial.
Unsur sumber daya mencakup finansial, sumber daya manusia, dan waktu dari petugas di
masing-masing lembaga. Unsur karakter lembaga mencakup SOP lembaga, tugas, pola
kerja, struktur, juga kepemimpinan lembaga. Unsur politik mencakup internal birokrasi,
legislatif, dan publik. Unsur sosial ekonomi mencakup kondisi ekonomi warga
masyarakat, isu lokalitas, kepadatan penduduk dan pemukiman, budaya remaja, dan
keterlibatan swasta juga masyarakat. Pada unsur komunikasi mencakup kejelasan dan
konsistensi standar kebijakan, pemahaman terhadap tugas, dan komunikasi antar pihak.
Unsur enforcement mencakup norma dan sistem monitoring, insentif, juga sanksi. Unsur
disposisi pelaksana mencakup interpretasi, penolakan/penerimaan terhadap kebijakan,
dan intensitasnya.
Sementara kendala pada implementasi kebijakan penanganan konflik sosial di
Kota Jakarta Pusat terdiri dari kendala di sisi komunitas sasaran yang mencakup faktor
disposisi warga dan orang tua, perilaku remaja dan orang tua, budaya sekitar dan
pendidikan, kondisi finansial, kondisi fisik dan lingkungan, dan penggunaan media sosial x Universitas Indonesia
Kendala dari sisi faktor reinforcing mencakup faktor predisposisi dari petugas terhadap
isu konflik sosial dan kebijakannya, perilaku kerja negatif oknum petugas, dan
keterbatasan sumber daya baik finansial, sumber daya manusia, termasuk pembinaannya.
Dan di sisi program, kendala lebih pada SOP yang belum ada atau belum terpublikasi
menyeluruh, sinergi program masih relatif standar, dan pelaksanaan rangkaian kebijakan
penanganan konflik sosial yang belum menyeluruh. Faktor-faktor kendala yang muncul
dominan merupakan faktor-faktor yang merupakan bagian dari aset komunitas yang
seyogyanya menjadi perhatian lebih untuk proses implementasi kebijakan penanganan
konflik sosial yang lebih optimal.
Deskripsi Lengkap