Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan paling signifikan yang dihadapi oleh komunitas global, dengan emisi karbon menjadi faktor penyumbang utama. Sebagai tanggapan terhadap kebutuhan yang semakin mendesak untuk keberlanjutan lingkungan, Indonesia telah memperkenalkan kebijakan pajak karbon yang diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Tesis ini bertujuan untuk menganalisis proses perumusan kebijakan dan negosiasi yang terlibat dalam penerapan kebijakan pajak karbon di Indonesia. Penelitian ini berusaha memahami peran dan kepentingan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor bisnis, dan organisasi lingkungan, dalam membentuk kebijakan akhir. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam dan analisis dokumen. Kerangka teori yang digunakan adalah model jaringan kebijakan dari Marsh dan Smith (2000), yang mengeksplorasi hubungan dialektis antara struktur dan agen, jaringan dan konteks, serta jaringan dan hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perumusan kebijakan pajak karbon dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara faktor ekonomi, politik, dan lingkungan. Negosiasi kepentingan antara aktor pemerintah, pengusaha, dan masyarakat memainkan peran penting dalam proses ini. Pemerintah, terutama Kementerian Keuangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berusaha untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan lingkungan. Pengusaha mengkhawatirkan dampak finansial dari pajak karbon terhadap daya saing bisnis mereka dan berusaha mempengaruhi kebijakan untuk mendapatkan kondisi yang lebih menguntungkan. Di sisi lain, organisasi lingkungan dan masyarakat menekan pemerintah untuk mengambil tindakan tegas dalam mengurangi emisi karbon dan menjaga kelestarian lingkungan. Analisis ini menyoroti tantangan dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan, terutama dalam menangani kekhawatiran dari sektor bisnis tentang dampak finansial dari pajak tersebut.
Deskripsi Lengkap