Di masyarakat Indonesia, pandangan bahwa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah
beban, aib, atau bahkan bentuk karma dari orang tua masih kerap kali diwariskan.
Meskipun pandangan tersebut mulai bergeser, anggapan bahwa ABK merupakan
individu yang inferior tetap sering muncul dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Namun, hal berbeda justru terlihat di lingkungan SMP Hikmah Teladan di Kota
Bandung, di mana penerimaan terhadap teman-teman ABK tampak nyata dalam
keseharian siswa-siswinya. Banyak siswa non-ABK menunjukkan interaksi yang
mencerminkan penerimaan, kepedulian, dan rasa saling menghargai di antara mereka.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana sekolah sebagai agen sosial
merekonstruksi pemahaman mengenai ABK hingga terbentuk penerimaan di dalam
konteks sekolah inklusi. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui
wawancara mendalam dan observasi, penelitian ini memberikan gambaran bahwa dalam
memelihara penerimaan, sekolah sebagai agen sosial berperan aktif dalam
merekonstruksi ulang cara pandang siswa terhadap ABK. Proses rekonstruksi makna ini
berlangsung melalui relasi sosial yang sederhana, seperti memposisikan teman-teman
dengan disabilitas sebagai ?adik?, penanaman nilai-nilai Islam tentang keberagaman,
serta penciptaan ruang sosial melalui program dan kegiatan inklusif. Penelitian ini juga
berusaha menunjukkan bahwa proses rekonstruksi makna tersebut terbentuk melalui
sosialisasi yang berlangsung secara situasional dan organik dengan menggunakan
pendekatan model kultural
Deskripsi Lengkap