Meskipun tidak meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, Indonesia dikenal
sebagai negara yang terbuka terhadap pengungsi Rohingya. Atas dasar kemanusiaan,
sejak tahun 2015 Indonesia secara kontinu memberikan izin tinggal sementara,
memberikan bantuan kemanusiaan, dan aktif mendorong penyelesaian krisis melalui
berbagai upaya diplomatik. Namun pada 2023, respons tersebut mengalami perubahan
yang ditandai oleh pergeseran retorika pengungsi sebagai beban dan masalah keamanan,
peningkatan patroli oleh lembaga keamanan, dan desakan kepada negara-negara pihak
Konvensi untuk mengambil alih tanggung jawab penanganan pengungsi. Perubahan ini
menunjukkan orientasi kebijakan yang semakin restriktif dengan penekanan pada isu
keamanan dan kontrol perbatasan. Menanggapi hal tersebut, penelitian ini
mempertanyakan mengapa kebijakan Indonesia terhadap pengungsi Rohingya
mengalami peningkatan pembatasan pada tahun 2023. Dengan menggunakan kerangka
analisis kebijakan luar negeri, penelitian ini menemukan bahwa konvergensi faktor
eksternal dan internal mendorong perubahan kebijakan Indonesia terhadap pengungsi
Rohingya ke arah peningkatan pembatasan. Faktor eksternal menyediakan konteks dan
stimulus pengetatan kebijakan melalui stagnasi proses resettlement, penurunan bantuan
internasional, dan kebijakan suaka negara lain yang semakin tertutup. Hal ini kemudian
diamplifikasi oleh faktor internal berupa penolakan publik terhadap pengungsi Rohingya,
konsensus pendekatan keamanan dalam birokrasi, lemahnya pengaruh kelompok
kepentingan, serta karakteristik kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang memperkuat
arah kebijakan menuju restriktivitas.
Deskripsi Lengkap