Sejak kekalahan Partai Kuomintang (KMT) dalam Perang Saudara Tiongkok pada 1949,
Taiwan dan Tiongkok merupakan dua aktor yang kerap bersaing terkait status politik
Pulau Taiwan. Pada masa kontemporer, Tiongkok mendorong Konsensus 1992, yang
berisikan prinsip ?One China,? untuk mengukuhkan klaimnya atas Taiwan. Akan tetapi,
konsensus tersebut dimaknai berbeda oleh masing-masing pemimpin Taiwan yang
menyebabkan perbedaan sikap dalam hubungan lintas Selat. Pada masa Tsai Ing-wen,
kebijakan luar negeri Taiwan dalam konteks hubungan lintas Selat dengan Tiongkok
mengalami perubahan signifikan. Berbeda dengan kebijakan rapprochement pada masa
Ma Ying-jeou yang cenderung menghasilkan stabilitas dalam hubungan lintas Selat, Tsai
Ing-wen mengambil kebijakan yang cenderung asertif terhadap Tiongkok. Sebagai small
states, kebijakan asertif dapat membahayakan Taiwan, terutama menimbang kapabilitas
ekonomi dan milliter Tiongkok yang semakin meningkat. Hal ini memunculkan
pertanyaan mengenai alasan pergeseran kebijakan lintas Selat Taiwan. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, penelitian ini menggunakan teori realisme neoklasik sebagai
kerangka analisis. Realisme neoklasik mendorong bahwa faktor domestik memiliki
pengaruh sebagai variabel intervensi dalam pengambilan hasil akhir kebijakan luar
negeri. Melalui studi kasus komparatif dan studi literatur, penelitian ini menemukan
bahwa terdapat perbedaan faktor domestik pada masa Ma Ying-jeou dan Tsai Ing-wen.
Faktor domestik yang prominen pada masa Ma Ying-jeou adalah persepsi pemimpin dan
konsensus elite. Kedua faktor tersebut saling melengkapi dan berimplikasi pada realisasi
kebijakan sesuai dengan kepentingan Ma Ying-jeou. Di sisi lain, pada masa Tsai Ing-wen,
faktor domestik yang prominen adalah persepsi pemimpin dan opini publik. Kedua faktor
tersebut mendorong kebijakan asertif Tsai Ing-wen melalui tekanan untuk menjaga status
quo sekaligus menjaga kedaulatan Taiwan dari ancaman Tiongkok. Melalui hal tersebut,
komparasi terhadap dua masa kepemimpinan menunjukkan bahwa kehadiran opini publik
dan konsensus elite pada masing-masing masa jabatan mendorong perbedaan kebijakan
meskipun stimulus sistemik sama-sama menunjukkan peningkatan power Tiongkok.
Deskripsi Lengkap