Pengembalian benda budaya merupakan sebuah langkah dekolonisasi yang telah diupayakan
berbagai negara bekas jajahan sejak abad ke-19, tetapi masih dipenuhi tantangan karena
keengganan negara Barat untuk melepaskan benda-benda budaya yang diperolehnya melalui
penjarahan kolonial. Eskalasi dinamika ini memunculkan Deklarasi Pentingnya Nilai
Universalitas Museum 2002 yang lahir dari diskursus cultural internationalism, yakni sebuah
konsep yang berupaya meleburkan batas identitas antarbangsa menjadi satu identitas dan
kebudayaan global. Harapan baru muncul ketika Presiden Emmanuel Macron menyampaikan
inisiatif pengembalian benda budaya dari koleksi Prancis ke negara-negara Afrika yang dulu
dijarah oleh Prancis. Namun, proses ini berjalan lambat dan berjumlah sedikit sehingga
mengundang sorotan dan kritik global atas motivasi altruis Prancis. Prancis hanya berhasil
mengembalikan sebanyak 27 benda budaya?dengan Benin sebagai penerima terbanyak,
yakni sebanyak 26 benda budaya?dan baru berhasil dikembalikan 4 tahun setelah komitmen
terbuka dinyatakan di Universitè de Ouagadougou pada tahun 2017. Berdasarkan fenomena
tersebut, penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana proses perumusan kebijakan
pengembalian benda budaya dari Prancis ke Benin berlangsung untuk memahami kontestasi
kepentingan yang memengaruhi output kebijakan tersebut. Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, penelitian ini menggunakan kerangka analisis kebijakan luar negeri yang kemudian
dinalarkan dengan konsep orientalisme laten. Penelitian ini menemukan bahwa realisasi
pengembalian benda budaya yang lama dan sedikit disebabkan oleh perspektif orientalisme
laten yang tertanam dalam persepsi aktor-aktor sub-nasional Prancis. Keengganan Prancis
untuk melepas narasi dan relasi klientelisme kolonial dipertahankan melalui narasi ?shared
heritage.? Distorsi fakta sejarah yang bias oleh aktor-aktor sub-nasional Prancis, baik
kelompok pemerintahan maupun dari publik dan media, menghambat Benin untuk
mengambil langkah-langkah asertif guna merestorasi identitasnya melalui kepemilikan
penuh atas benda-benda budaya tersebut. Lebih lagi, penelitian ini menemukan bahwa
konfigurasi kepentingan nasional Prancis maupun Benin merupakan hasil dominasi
kepentingan presiden masing-masing; menunjukkan bahwa studi kasus ini dipengaruhi oleh
politik internasional alih-alih motivasi altruis untuk melakukan keadilan reparatif. Dengan
demikian, penelitian ini menyimpulkan bahwa pengembalian benda budaya dalam studi
kasus ini tidak berjalan dengan ideal karena hanya bersifat pengembalian fisik tanpa makna
menyeluruh sehingga mendorong urgensi terjadinya pergeseran paradigma Barat.
Deskripsi Lengkap