Pesatnya perkembangan teknologi digital telah mengubah cara manusia
berinteraksi, terutama melalui media sosial yang kini menjadi ruang ekspresi,
komunikasi, interaksi, sekaligus eksistensi diri. Namun dibalik keterbukaan ruang
digital tersebut, perempuan justru dihadapkan pada kerentanan baru dalam bentuk
kekerasan berbasis gender, salah satunya adalah cyberstalking. Penelitian ini bertujuan
untuk mengeksplorasi pengalaman perempuan sebagai korban cyberstalking di media
sosial, serta bagaimana mereka memaknai peristiwa tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi digunakan dalam
penelitian ini, dengan tiga narasumber yang diwawancarai secara mendalam
berdasarkan pengalaman langsung mereka sebagai korban. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bentuk-bentuk cyberstalking yang dialami meliputi monitoring
(pemantauan aktivitas online), harassment (pelecehan dan intimidasi), serta
impersonation (peniruan identitas). Ketiga narasumber merespon pengalaman tersebut
dengan berbagai reaksi emosional, seperti takut, marah, tertekan, bingung, hingga
kehilangan rasa aman. Upaya yang dilakukan narasumber untuk melindungi diri antara
lain dengan membatasi penggunaan media sosial, memblokir akun pelaku, melaporkan
ke platform digital maupun ke pihak berwenang. Sayangnya, laporan tersebut sering
kali tidak ditanggapi secara serius atau mengalami penanganan yang lambat. Temuan ini
menunjukkan bahwa media sosial, alih-alih menjadi ruang aman, justru memperkuat
dominasi struktural terhadap perempuan dalam sistem kapitalisme digital yang berbasis
pada keterlibatan dan eksposur pengguna. Dengan demikian, diperlukan pendekatan
yang lebih serius dari platform digital dan sistem hukum untuk memberikan
perlindungan yang adil dan responsif terhadap kekerasan berbasis gender online.
Deskripsi Lengkap