ASEAN Petroleum Security Agreement (APSA) yang telah diperpanjang dua kali, dari
tahun 1986-2013 dan 2013-2023, dibentuk untuk meningkatkan ketahanan minyak dan
meminimalkan dampak keadaan darurat bagi Negara Anggota ASEAN (AMS).
Mengingat Indonesia adalah pemrakarsa kerja sama minyak dan produsen minyak
tertinggi di antara AMS, meskipun telah beralih status sebagai net importir minyak, maka
penelitian ini mengkaji alasan kegagalan Indonesia dalam mengimplementasikan APSA
Kedua selama sepuluh tahun masa berlakunya. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif studi kasus tunggal yang dianalisis menggunakan kerangka kerja
ketidakpatuhan Mitchell (1996) dan Chayes & Chayes (1996). Data primer dikumpulkan
dari dokumen resmi APSA dan perjanjian terkait, serta wawancara dengan pemangku
kepentingan terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidakpatuhan Indonesia
disebabkan oleh lima variabel. Pertama, ambiguitas dalam definisi perminyakan dan
situasi darurat, serta fungsionalitas badan operasional dan Sekretariat APSA. Kedua,
dimensi temporal untuk standardisasi dan adaptasi juga berkontribusi terhadap
ketidakpatuhan. Selanjutnya, preferensi Indonesia untuk ketidakpatuhan muncul dari
prinsip APSA yang sukarela dan tidak mengikat secara hukum, dan kegagalannya untuk
memenuhi kepentingan nasional. Lebih lanjut, keterbatasan sumber daya dalam produksi,
infrastruktur, dan fasilitas memengaruhi kapasitas komitmen. Terakhir, pergeseran
prioritas ke arah energi terbarukan dan tantangan geopolitik global secara tidak sengaja
juga mengalihkan fokus Indonesia.
Deskripsi Lengkap