Penelitian ini menganalisis fenomena reifikasi atau pembendaan hal-hal yang bersifat
abstrak dalam produksi sinetron religi sub-genre ?azab? dengan fokus pada pengalaman
para pelaku di baliknya. Konsep reifikasi dalam penelitian ini merujuk kepada teori
pengakuan Axel Honneth yang menegaskan bahwa pengakuan (atas cinta, hak dan
solidaritas) merupakan kebutuhan fundamental bagi pembentukan identitas juga
integritas manusia. Pada Honneth, reifikasi merupakan konsekuensi dari ketiadaan
pengakuan. Melalui lensa teori ini, penelitian membaca pengalaman subyek-subyek
dibalik produksi sinetron religi yang dapat diasumsikan telah memaknai ruang dan
representasi pesan agama di media sebagai pengakuan tulus meskipun pada saat yang
sama mereka juga merasakan kegelisahan terhadap tekanan komersialisasi. Untuk
mengurai fenomena ini, penelitian menggunakan pendekatan Analisis Fenomenologi
Interpretatif yang merekomendasikan penggalian atas pengalaman subyektif individu
dan bagaimana pengalaman tersebut dimaknai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
para pelaku industri sinetron religi merasakan adanya pengakuan terhadap makna media
sebagai sarana penyebaran pesan moral dan ruang artikulasi dakwah tokoh agama.
Namun dalam pengakuan ini juga tersirat kegelisahan subyek terhadap kecenderungan
instrumentalisasi media atas makna spiritual tersebut. Sebagai siginifikansi, peneliti
memperkenalkan konsep Pengakuan Artifisial: bentuk pengakuan yang tampak tulus
dan memberdayakan tetapi sebenarnya bersifat semu dan memiliki tujuan instrumental.
Konsep ini mengeksplisitkan pengakuan ideologi Honneth dalam penggunaannya untuk
konteks media, meskipun kemudian terbuka untuk fenomena-fenomena lainnya.
Penelitian juga menunjukkan bahwa pemahaman pekerja profesional media tentang
kompleksitas konsep ?azab? mengabaikan tafsir teologis yang beragam dan berbasis
nalar kritis. Pemaknaannya hanya bersumber pada interpretasi tunggal dan dikuatkan
pemahaman simplikatif dalam cerita masyarakat. Dengan demikian, konsep ?azab? yang
sudah mengalami reifikasi di tingkat masyarakat, dibawa ke dalam representasi media
sebagai komoditas untuk melayani logika industri ketimbang mewujud sebagai pesan
agama yang rasional dan mendalam. Fenomena ini menggambarkan akar moral dari
praktik representasi agama di media tampak cacat serta berpotensi menciptakan pola
pikir simplistik dan tidak kritis di tengah masyarakat.
Deskripsi Lengkap