Transisi aktivitas terorisme dari ruang fisik ke ruang siber mencerminkan adaptasi
kelompok teror terhadap era digital. Media sosial dan platform digital menjadi
medium strategis dalam menyebarkan propaganda radikal, membentuk echo
chamber, serta memfasilitasi proses radikalisasi individu secara masif dan
tersembunyi. Dalam hal ini, penyebaran propaganda radikal melalui repetisi
narasi dan glorifikasi kekerasan secara terus-menerus membentuk konstruksi
realitas baru, di mana simbol-simbol kekerasan terpisah dari realitas aslinya.
Proses ini berpotensi melahirkan fenomena hyperreality dan simulacrum, di mana
citra kekerasan yang disebarluaskan tidak lagi merepresentasikan kekerasan yang
nyata, melainkan membangun realitas semu yang dianggap lebih ?nyata? oleh
para pengikutnya. Studi ini mengulas proses terjadinya hyperreality dalam
aktivitas terorisme, menganalisis implikasi yang ditimbulkan, untuk kemudian
merumuskan strategi yang efektif dalam penanganan ancaman terorisme siber
khususnya di Indonesia. Pembahasan ini dilakukan melalui analisa mendalam
mengenai berbagai bentuk aktivitas teror di ruang siber merujuk pada analisis 516
putusan pengadilan terorisme, hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan
praktisi, akademisi, dan perwakilan masyarakat umum, wawancara semi
terustruktur dengan mantan terpidana teror, serta hasil kajian data intelijen densus
88 at dengan merujuk pada teori transisi ruang, teori aktivitas 9P, teori dramaturgi,
dan teori kultivasi. Analisis mendalam terhadap isu tersebut diperlukan untuk
dapat menentukan langkah-langkah mitigasi termasuk kebijakan berbasis
penelusuran atas ide, pemikiran, dan pengalaman dari berbagai pihak terkait
dalam merespon dinamika terorisme siber yang begitu cepat perubahannya.
Deskripsi Lengkap