Pembangunan proyek infrastruktur besar seperti Kereta Cepat Jakarta?Bandung awalnya
menggunakan skema business to business (B-to-B) bersama China Development Bank
pada tahun 2015. Namun, pembengkakan biaya konstruksi dan kenaikan bunga pinjaman
mendorong perubahan skema menjadi business to government (B-to-G), dengan
pemerintah yang melakukan intervensi melalui Penyertaan Modal Negara (PMN).
Penelitian ini mempertanyakan bagaimana elite politik domestik mempengaruhi
kebijakan luar negeri Indonesia dalam pembiayaan proyek kereta cepat. Dengan
menggunakan kerangka teori liberal Moravcsik, penelitian kualitatif ini menganalisis
dokumen kebijakan, laporan keuangan, serta wawancara mendalam. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa preferensi pembiayaan dibentuk oleh kepentingan elite politik yang
ingin menunjukkan prestasi pembangunan infrastruktur, BUMN yang mengejar ekspansi
usaha, serta pelaku bisnis lokal yang mengharapkan keuntungan ekonomi. Tekanan
politik akibat pembengkakan biaya memaksa perubahan skema pembiayaan demi
kelangsungan proyek, meskipun hal itu menambah beban utang negara. Penelitian ini juga
memperlihatkan bahwa keputusan untuk melanjutkan pembangunan Kereta Cepat
Jakarta?Bandung lebih banyak dipengaruhi oleh agenda elite domestik dibanding
pertimbangan strategis jangka panjang. Temuan ini menegaskan pentingnya penguatan
mekanisme check and balance dari masyarakat sipil agar kepentingan nasional tidak
tergerus oleh tekanan kelompok elite. Penelitian ini memberikan wawasan penting bagi
perumusan kebijakan pembangunan infrastruktur dan tata kelola pembiayaan publik di
Indonesia.
Deskripsi Lengkap