Penelitian ini mengkaji bagaimana keuntungan petahana bekerja dalam sistem pemilu
proporsional terbuka di Indonesia, dengan studi kasus pada Pemilu DPRD Provinsi DKI
Jakarta selama tiga periode (2014, 2019, dan 2024). Dalam sistem ini, keterpilihan tidak
hanya ditentukan oleh partai politik, tetapi juga oleh kapasitas personal kandidat dan
strategi hubungan dengan pemilih. Teori Erikson (1971) digunakan untuk menjelaskan
keunggulan struktural petahana, sedangkan konsep koneksi elektoral (Mayhew) dan home
style (Fenno) digunakan untuk menganalisis bagaimana relasi politik antara petahana dan
konstituen dibangun dan dipertahankan.
Dengan pendekatan kualitatif dan metode studi kasus, penelitian ini menganalisis data
pemilu dan wawancara mendalam terhadap enam anggota DPRD DKI Jakarta yang
berstatus petahana,baik yang terpilih kembali maupun yang gagal terpilih. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa status petahana memang memberikan keuntungan
elektoral, tetapi tidak bersifat absolut. Efek ini bekerja secara selektif dan dipengaruhi
sejauh mana petahana membangun koneksi elektoral dan relasi personalnya dalam dapil.
Strategi advertising, credit claiming, dan position taking terbukti berperan dalam
meningkatkan keterpilihan, demikian pula kedekatan personal melalui aktivitas reses dan
komunikasi langsung dengan warga.
Tingkat keterpilihan petahana yang tinggi pada Pemilu 2014 dan 2024 (di atas 60%)
menunjukkan bahwa status petahana dapat menjadi modal elektoral yang kuat. Namun
penurunan tajam pada 2019 (51,72%). Keunggulan petahana di Indonesia dipengaruhi
oleh tiga faktor utama: klientisme, politik uang, dan kompetisi intrapartai. Risiko kerugian
petahana terjadi karena kegagalan membangun koneksi elektoral, kinerja nyata yang tidak
mempengaruhi keterpilihan, serta lemahnya partai.
Kontribusi utama penelitian ini terletak pada penguatan kerangka teoritis keuntungan
petahana dalam sistem pemilu proporsional terbuka. Penelitian ini menegaskan bahwa
teori klasik Erikson, Mayhew, dan Fenno tetap relevan, tetapi tidak cukup untuk
menjelaskan dinamika pemilu legislatif di Indonesia tanpa mempertimbangkan faktor
kontekstual yang khas di Indonesia seperti (1) klientisme, (2) politik uang, dan (3)
kompetisi intrapartai. Dengan demikian, keunggulan petahana harus dipahami sebagai
hasil interaksi antara keunggulan struktural, strategi koneksi elektoral, dan faktor
kontekstual yang dapat memperkuat atau justru melemahkan posisi petahana. Penelitian
ini memperluas pemahaman teoritis tentang keuntungan petahana dan menekankan
perlunya integrasi antara pendekatan institusional dan kontekstual dalam menganalisis
pemilu legislatif lokal di sistem proporsional terbuka.
Deskripsi Lengkap